Rena melemparkan seulas senyum hangat. "Nggak usah, Nta. Gue bisa kok," tolak Rena halus. Dia hanya berusaha untuk tidak merepotkan orang lain. Dia harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

Gadis itu kembali melangkah. Namun, lagi, baru langkah pertama dia kembali hampir ambruk. Untungnya lengan kokoh Lintang segera meraih tubuhnya.

"Loh katanya tadi bisa. Udah biar gue anter, lo nggak usah nolak. Pamali nolak kebaikan dari cowok tampan kayak gue." Lintang berbicara dengan percaya dirinya. Bukan bermaksud menyombongkan diri, dia hanya berusaha mencairkan suasana dengan lelucon recehnya. Meski kenyataannya dia memang sesosok lelaki tampan, nan gagah.

Lintang Andara Gaksa. Memang pada dasarnya tidak ada unsur humoris yang melekat pada diri, cowok bermata sedikit coklat itu. Di sekolahnya, dia dikenal sebagai cowok super-duper cuek dan irit bicara, alias pendiam. Namun di balik sikap cueknya itu, ternyata dia sesosok laki-laki peduli dan perhatian, juga tulus.

"Makasih, Lintang."

Lintang membawa tangan kanan Rena ke pundaknya, dan segera memapah gadis itu berjalan memasuki rumah sakit.

***

"Si tengil Lintang kemana sih? Beli makanan di depan aja sampe berjam-jam. Gimana kalo beli makanan di tempat lain?" keki Samuel, namun tetap fokus pada layar ponsel miliknya.

Kini cowok itu tengah duduk di sofa samping brangkar yang ditempati Netta, di sana juga sudah ada Farrel dan Aldo. Mereka bertiga tengah sibuk berkutat pada ponselnya masing-masing. Seperti kebanyakan anak muda pada umumnya, kalau sudah fokus pada benda tipis itu, sudah pasti mereka sedang memainkan game online favorit mereka. Istilah kerennya 'mabar'.

"Palingan se-abad baru balik," jawab Aldo acuh.

"Mana gue udah laper banget." Farrel menambahkan, namun matanya tetap fokus pada ponselnya.

"Iya, nih. Perut gue juga udah keroncongan." Samuel sedikit meringis sembari memegang perutnya yang memang sudah lapar.

"Makasih ya, kalian udah bela-belain jengukin gue. Maaf, sampe kelaparan kayak gini," ucap Netta. Gadis itu merasa tidak enak pada ketiga sahabatnya itu. Sepulang sekolah mereka langsung ke rumah sakit, menjenguknya. Bahkan saat ini mereka masih menggunakan seragam sekolah.

"Ah, lo nggak usah ngomong gitu, Nett. Biasa aja kali!" sahut Farrel.

"Gue nggak enak sama kalian."

"Sans ae, sama kita mah enggak perlu merasa nggak enak. Enak nggak enak, enakin aja! Iya nggak, man?" sembur Samuel menggebu-gebu.

"Yo-man!" sahut Aldo dan Farrel bersamaan.

"Ini udah kewajiban kita semua sebagai sahabat lo, Nett," tambah Aldo.

Farrel menghela napas panjang, lantas menoleh ke arah Netta. "Iya, malahan harusnya kita yang minta maaf sama lo, karena kita nggak bisa jaga lo dengan baik."

Netta mengulum senyum bahagia. "Makasih, ya. Kalian udah baik banget sama gue, kalian selalu ada di samping gue, kalian selalu dukung gue."

Ketiganya menoleh ke arah Netta. "Itulah gunanya sahabat!" seru Farrel, Aldo dan Samuel kompak.

"Gue sayang sama kalian," sambung Netta. Namun, ketiganya sudah kembali fokus pada ponselnya masing-masing.

"Sama aku, enggak?" celetuk Gilang. Membuat tangan Netta terulur mengacak gemas rambutnya. Memang sedari tadi cowok itu hanya diam di samping Netta, tangannya terus saja memainkan jemari Netta. Sampai-sampai gadis itu merasa risih karenanya, but Gilang don't care!

NETTA [END]Where stories live. Discover now