57. Titik Terendah

367 50 13
                                    

If you like and enjoy this story, please appreciate this story by giving vote and some comment.

Thank you.

*****

Mungkin Adijaya memang licik, tapi Dion cerdik. Pria itu masih menyimpan rapi beberapa pesan singkat dari Adijaya tiga belas tahun silam. Namun, karena teknologi yang tidak memadai pada saat itu, ia memotret pesan-pesan tersebut menggunakan kamera, lalu mencetaknya dalam beberapa lembar kertas.

Bukan hanya itu, ia juga memiliki bukti berupa audio. Yaitu berupa suara Adijaya yang meneleponnya beberapa saat sebelum kecelakaan.

Meskipun demikian, Adijaya ditangkap polisi atas tuduhan penculikan dan penyekapan, kekerasan terhadap anak di bawah umur, serta kepemilikan senjata api. Sementara untuk kasus Cakrawala yang tergolong pembunuhan berencana, masih belum diangkat kembali oleh Bentala, Dion, dan Rahardian. Ketiganya masih menunggu proses penyidikan untuk kasus yang menyangkut Senja.

Namun, Dion selaku korban selamat dalam kecelakaan tiga belas tahun silam bersikukuh melanjutkan kasus Cakrawala. Ia ingin Adijaya mendapatkan hukuman yang seharusnya sudah diterima pria itu sejak dulu. Apalagi, untuk kasus pembunuhan berencana di Indonesia, masih bisa diproses kembali selama kasus itu belum lebih dari lima belas tahun.

Kamis pagi ini, Nabastala dan Senja kembali izin dari sekolah. Kedua remaja itu mendatangi kantor polisi tempat Adijaya ditahan. Mereka dimintai keterangan sebagai saksi korban dalam kasus penculikan, penyekapan, dan penembakan hari Minggu lalu.

Setelah proses pemeriksaan dan pemberian kesaksian oleh Nabastala dan Senja selesai, Rina beranjak dari ruang tunggu untuk bertemu Adijaya. Wanita itu memantapkan diri untuk bertatap muka dengan pembunuh Cakrawala. Ia tidak ingin lagi terlihat sebagai Rina yang lemah dan mudah terguncang.

Namun, baru saja duduk berhadapan dengan hanya dibatasi meja, Adijaya beranjak dari kursi dan mendekatinya. Pria itu menangis sambil berjongkok di hadapannya.

“Maafkan Abang. Maafkan Abang, Sayang. Abang tidak bermaksud melukai Senja.”

“Kamu pembohong, pengkhianat, pembunuh!” Rina menepis tangan Adijaya yang berusaha menggenggamnya. Air mata wanita itu jatuh tidak terbendung.

“Tidak, Sayang. Abang bukan pembunuh. Ini tidak seperti yang mereka ceritakan,” bujuk Adijaya masih sambil menatap wajah wanita yang dicintainya itu. “Mereka yang berdusta, Sayang. Bukan Abang. Abang tidak berbohong.”

Merasa tidak ada jawaban dari Rina, Adijaya mengalihkan pandangan ke arah Rahardian, Bentala, dan Bani. Ia menatap tajam pada tiga laki-laki yang duduk di ruang tunggu yang letaknya tidak jauh dari sana.

Dari jarak yang terpisah beberapa meter, Adijaya berdiri dan menunjuk ke arah tiga orang itu. Sepasang netranya yang memerah karena tangisan, melotot penuh dendam. Ia benar-benar dikuasai amarah sampai harus ditenangkan seorang polisi yang berjaga di dekatnya.

“Kalian yang berbohong! Kalian yang pengkhianat!” makinya dengan dada naik-turun.

Rahardian hanya tersenyum miring. Hampir sama seperti Bentala yang duduk di sampingnya. Sementara Bani hanya diam dengan wajah tenang. Laki-laki tiga puluh tahun itu telah kehilangan rasa hormatnya kepada Adijaya.

“Kalau Anda tidak bisa tenang, terpaksa kami sudahi waktu kunjungan kerabat Anda. Jangan membuat keributan!” Polisi yang memegangi lengan Adijaya mendudukkan pria itu. Namun, Adijaya menolak dan memilih kembali duduk di lantai.

“Sayang ... jangan seperti ini pada Abang. Abang tidak bisa ....”

Rina membuang pandangan ke arah lain. Sebelum akhirnya membalas tatapan sendu Adijaya. “Dengarkan saya. Tidak lama lagi, saya akan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Jadi, jangan berharap apa pun yang akan membuat Anda semakin terlihat menyedihkan.”

Nabastala Senja (END)Where stories live. Discover now