4. Tanpa Bantahan (2)

844 98 43
                                    

If you like and enjoy this story, please appreciate this story by giving vote and some comment.

Thank you.

*****

"Woi, Roy! Di sini juga?" sapa seorang teman Aldi yang baru saja keluar dari warung. Ia mengunyah pisang goreng yang menggoda indra penciuman Roy.

"Iya, Wir. Pisang goreng lo enak, tuh, kayaknya." Roy menaik-naikkan alisnya sambil tersenyum.

"Lagu lama, Roy! Gue traktir. Mau berapa?" Wira mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku celana abu-abunya. Memberikannya kepada Roy dan langsung disambar begitu saja.

"Katanya enggak ngelanggar peraturan, tapi makan juga," cibir Aldi yang tak dihiraukan oleh Roy.

Roy langsung masuk warung dan mencomot beberapa gorengan. Ia bersyukur memiliki sahabat seperti Wira. Pemuda itu tidak berubah meskipun mereka sudah jarang berkumpul berlima seperti sebelum terjadi pertikaian antara Roy dan Aldi. Lebih tepatnya, Aldi yang jarang ikut berkumpul.

Roy juga tahu bahwa Wira tidak sedang membolos mata pelajaran seperti Aldi. Wira hanyalah izin dari kelas saat pergantian jam pelajaran. Berpura-pura ke toilet dan itu sudah pasti tujuannya ke warung. Namun, setelah memakan dua gorengan dan minum es di sana, pemuda itu akan kembali ke kelas.

"Gue balik dulu, ya, Di. Pelajarannya Bu Siska nanti." Wira yang tadi menyusul Roy ke dalam kini sudah keluar. Ia mengelap bibirnya menggunakan tisu, menghilangkan sisa minyak yang menempel. Benar-benar expert dalam hal mengelabuhi guru.

Aldi mendengkus. "Enggak asyik lo, Wir. Di sini dulu aja." Wira menggeleng, pertanda tidak tertarik oleh rayuan pemuda itu.

"Jangan mau, Wir. Tadi di kelas gue ada ujian dadakan. Paling nanti di kelas IPA 2 juga." Roy menyahut dari dalam warung.

"Oke. Thanks infonya. Jangan lupa balik ke kelas," pungkas Wira sebelum pergi. Sementara Roy hanya mengacungkan jempolnya.

*****

Pelajaran Pak Wandi sudah berakhir dan Nabastala bermaksud pergi ke perpustakaan bersama Ilham. Namun, tiba-tiba Senja menghampiri pemuda itu, menghalangi jalannya. Nabastala mengernyitkan dahi, lalu menoleh. Ia tidak mengatakan apa-apa, menunggu gadis di sampingnya berbicara terlebih dulu.

"Saya enggak mau menerima apa pun dari kamu," kata Senja dingin.

Nabastala tidak menghiraukan. Ia justru mengambil susu kotak dan sebungkus roti yang tadi ia masukkan ke laci ketika Pak Wandi datang. Pemuda itu menyodorkannya kepada Senja. Tidak peduli bahwa penolakanlah yang akan ia terima. Ia meraih tangan kanan Senja, membuka telapak tangan gadis itu, lalu meletakkan susu kotak dan roti di sana.

"Saya udah—"

"Cukup diterima aja," potong Nabastala, lalu menyusul Ilham yang sudah keluar terlebih dulu.

Senja menatap apa yang ada dalam genggamannya. Kemudian gadis berambut panjang itu memandang punggung Nabastala yang sudah berbelok dari pintu. Terbit seulas senyum di bibir gadis itu. Seribu kali ia mengelak lapar, seribu satu kali ia harus mengakui perutnya keroncongan. Nasi goreng yang dimakan tadi pagi dengan terburu-buru membuatnya cepat merasa lapar.

Nabastala Senja (END)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant