12. Kecurigaan (2)

523 72 2
                                    

If you like and enjoy this story, please appreciate this story by giving vote and some comment.

Thank you.

*****

Usai makan malam tadi, Adijaya langsung masuk ke ruang kerja yang berada di sebelah kamarnya. Pria itu tidak keluar lagi sampai saat ini. Hal itu tentu membuat Rina keheranan. Tidak biasanya Adijaya berada di sana selama berjam-jam. Apalagi, pria itu terlihat jelas sedang mengabaikannya.

Setelah menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya, Rina membulatkan niat untuk menemui sang suami terlebih dulu. Wanita itu mengetuk pelan pintu ruang kerja sang suami sebelum masuk. Tidak lupa ia membawa kopi hitam yang biasa menemani sang suami lembur di rumah. Namun, berbeda dari biasanya di mana Adijaya langsung menoleh dan tersenyum manis. Kini, pria itu sama sekali mengabaikannya.

“Lagi banyak kerjaan, ya, Bang? Ini aku buatkan kopi untuk Abang.” Wanita itu meletakkan secangkir kopi yang masih panas di atas meja kerja sang suami.

Adijaya hanya melirik kopi itu sekilas. Perasaannya masih tidak terkendali seperti dulu setiap ada yang membahas tentang masa lalu. Ia sendiri tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Semua yang ia inginkan sudah ia dapatkan. Namun, perasaan tidak tenang itu masih saja menghantui pikirannya.

“Abang bicara, dong. Abang marah sama aku?” Rina kembali membujuk sang suami agar berbicara padanya. Biasanya, jika ia sudah melontarkan panggilan sayang seperti itu, sang suami akan luluh. Namun, kali ini sepertinya ia butuh kesabaran lebih.

“Duduk!” titah Adijaya setelah beranjak dari kursi putar ke sofa di samping rak. Rina yang sudah hafal kebiasaan pria itu pun menurut. Wanita itu duduk di samping sang suami.

Tidak ada kata yang keluar dari bibir Adijaya saat sang istri sudah duduk manis di sana. Pria itu memeluk sang istri dengan begitu posesif. Meski sudah tidak muda lagi, tapi pria itu masih seperti dulu. Sifatnya memang keras, tapi romantis dan manja jika sudah bersama sang istri.

“Abang kenapa? Marah karena aku membahas tentang—”

“Jangan membicarakannya lagi, Sayang,” potong Adijaya dengan nada merajuk, membuat Rina memutar bola matanya malas.

Rina mendengkus pelan. “Tidak boleh marah. Mau bagaimanapun, dia itu sahabat Abang, ayahnya—”

“Bukan marah, tapi cemburu.” Adijaya kembali memotong ucapan sang istri.

“Cemburu, kok, sama orang yang sudah beda alam. Abang itu memang ajaib,” cibir Rina yang ditanggapi dengan kekehan. Wanita itu balas memeluk sang suami. Dalam hati ia bersyukur. Jika tanpa pria yang mendekapnya itu, mungkin ia masih terbelenggu masa lalu.

“Oh iya, masalah di kantor cabang, bagaimana? Kapan Abang tangani?” tanya Rina sambil mendongakkan kepala, menatap sang suami.

“Abang berangkat Jumat saja, Sayang. Sesuai rencana Abang. Untuk sementara Abang pantau dari sini. Toh, hanya masalah kecil. Masa apa-apa harus Abang?”

Rina geleng-geleng. “Tidak boleh begitu, Bang. Siapa tahu masalahnya rumit. Nanti kalau ditunda-tunda, makin besar masalahnya.”

“Abang masih ingin berkumpul dengan kalian di sini. Minggu lalu, kan, Abang baru saja pulang dari Lombok. Masa harus pergi lagi?” Adijaya mengeratkan pelukannya.

“Ya sudah. Terserah Abang saja.”

*****

Sepulang dari mengantarkan Senja tadi sore, Nabastala disuguhi ocehan panjang sang nenek hingga makan malam tiba. Sang nenek bukan menegur panjang kali lebar kali tinggi mengenai jam pulangnya, lantaran sudah sejak kelas X Nabastala mengikuti ekstrakurikuler musik. Namun, wanita tua yang sangat dihormati oleh Nabastala itu menegur mengenai kepulangannya yang dalam keadaan basah kuyup.

Nabastala Senja (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang