27. Cokelat

468 64 0
                                    

If you like and enjoy this story, please appreciate this story by giving vote and some comment.

Thank you.

*****

“Apa ini?” Senja menaikkan sebelah alis saat sebuah tangan menjulur di depannya. Gadis itu baru saja kembali setelah mengikuti perkumpulan untuk persiapan pelaksanaan bimbingan yang dikhususkan bagi siswa olimpiade. Namun, tiba-tiba langkahnya dihadang di tengah koridor menuju kelas.

“Buat lo. Anggap aja sebagai tanda perkenalan. Diterima, ya.” Aldi tersenyum manis sambil menggoyang-goyangkan cokelat itu sebagai isyarat agar Senja segera menerimanya.

Namun, saat Senja ingin membuka bibir, sebuah tangan merebut cokelat itu. Tentu saja Senja dan Aldi spontan menoleh. Mereka mendapati Roy yang dengan tenang membolak-balikkan cokelat itu. Senyuman terpatri di bibirnya.

“Ngapain, sih? Ganggu orang aja. Balikin cokelatnya!” geram Aldi sambil berusaha merebut kembali cokelat itu. Namun, Roy dengan sigap menghindar.

“Eits! Tidak bisa.” Roy menyembunyikan cokelat berbalut kertas bergambar kacang mede itu di belakang tubuh bersama sebuah buku. Sementara telunjuk tangan kanannya bergerak-gerak di depan wajah. Tidak ketinggalan senyuman meledek dari pemuda itu.

“Ck. Enggak usah macam-macam, deh, Roy! Balikin! Lagi kurang sajen apa gimana, sih? Sampai-sampai cokelat orang direbut. Katanya harta orang tua lo enggak habis tujuh turunan delapan tanjakan,” cerocos Aldi dengan kekesalannya.

Senja menghela napas melihat perdebatan kecil kedua pemuda di sampingnya. Gadis itu kemudian memilih pergi dari sana. Ocehan-ocehan keduanya membuat ketenangannya terganggu.

“Tuh, 'kan, Senja jadi pergi,” gerutu Aldi saat menyadari gadis di sampingnya menghilang. Pemuda itu dengan cepat merebut cokelatnya kembali.

Roy yang juga baru menyadari bahwa punggung Senja sudah menjauh, berdecak. “Lagian, ngapain modus pakai cokelat? Yang lebih modal dikit lah.”

“Kayak yang pernah modal aja pas dekatin cewek,” sindir Aldi. Kemudian mendengkus kasar sambil mengantongi cokelatnya kembali. Suasana hatinya sudah memburuk begitu melihat kedatangan Roy tadi. Kalimat yang disusun dalam otak pemuda itu raib bagai debu diterbangkan angin.

Sementara Roy bergegas mengejar Senja. Kemudian menyejajarkan langkah dengan gadis itu. “Minta waktunya bentar, dong, Ja. Gue mau minta tolong, nih.”

Senja menghentikan langkah, mengembuskan napas pelan. Kemudian menoleh dengan raut datar dan dingin. Sorot matanya tidak kalah datar menatap Roy yang sedang tersenyum semringah. Sementara sebelah alis gadis itu terangkat, menunggu pemuda di depannya bicara.

“Mau, enggak, bantuin gue sama Rere ngerjain tugas dari Pak Wandi?” tanyanya dengan penuh harap sambil menunjukkan buku tugasnya. Dengan antusias, ia membuka halaman berisi soal-soal tugas dari Pak Wandi yang sudah ia salin. Jawabannya belum terisi sama sekali. Hanya ada beberapa coretan di halaman paling belakang.

“Bukannya enggak boleh?” Senja kembali menaikkan sebelah alis.

Roy hanya nyengir kuda. Pemuda itu menutup bukunya, lalu menggaruk tengkuk. Ia memang tidak lupa bahwa Pak Wandi melarangnya meminta bantuan pada Senja, Nabastala, dan Ilham. Sang guru juga memberikan kelonggaran waktu untuk menyelesaikannya. Namun, Roy merasa terintimidasi dengan tatapan guru berbadan tambun itu setiap kali masuk kelas. Tatapan tajamnya membuat Roy merasa mendapat paksaan secara tersirat.

“Ayolah, Ja ... please,” mohonnya saat Senja mengembuskan napas.

Senja menghela napas, berpikir sejenak. Ia memang selalu dingin dan terlihat cuek terhadap orang lain. Namun, rasa tidak tega gadis itu juga cukup besar. Apalagi saat mendengar nada penuh permohonan dan melihat raut memelas. Ia tidak pernah setega itu untuk menolak.

Nabastala Senja (END)Onde histórias criam vida. Descubra agora