32. Posesif (2)

417 60 2
                                    

If you like and enjoy this story, please appreciate this story by giving vote and some comment.

Thank you.

*****

Senja terdiam. Ia sangat merindukan sang ayah kandung. Bahkan, setiap saat sebelum memejamkan mata dan setelah terjaga, hanya bayangan Cakrawala yang memenuhi pikirannya. Ia teramat merindukan dekapan hangat pria yang hanya menemani tiga tahun hidupnya itu. Ia menginginkan hal yang sama dengan Bentala. Ia ingin selalu berada di dekat Cakrawala.

"Kalau sudah besar nanti, Sa tidak boleh cengeng lagi, Sayang. Princess Ayah harus jadi putri yang kuat, tapi lembut," ucap Cakrawala sambil mengusap rambut panjang gadis dua tahunan dalam pangkuannya. Kemudian dihapusnya sisa air mata di kedua pipi tembam itu.

Beberapa saat yang lalu, gadis kecil itu menangis karena bonekanya dirusak oleh teman sepermainan. Sementara boneka itu adalah boneka kesayangan. Boneka hadiah dari sang ayah.

Mata gadis kecil itu mengerjap lucu. "Sa enggak ngerti maksud Ayah."

Cakrawala terkekeh. Didekapnya sang putri kesayangan. "Nanti Sa pasti mengerti maksud Ayah, hm. Sekarang Ayah tulis di sini pesan-pesan Ayah untuk Sa. Oke, Princess?"

Senja kecil mengangguk-angguk. Bocah itu memperhatikan sang ayah yang mulai menulis kalimat-kalimat panjang di sebuah buku. Ia bisa melihat senyuman manis pria itu saat menggoreskan pena di atas kertas merah muda. Senyuman yang tidak pernah luntur meskipun dalam keadaan lelah sekalipun. Senyuman terindah yang pernah dilihatnya sepanjang dua setengah tahun bernapas di dunia.

"Bacanya gimana, Yah?" tanya Senja setelah sang ayah selesai menulis.

Cakrawala menoleh setelah meletakkan pena dan memperhatikan hasil tulisannya. "Anak Ayah, 'kan, sekarang belum bisa membaca dengan lancar. Nanti kalau sudah bisa, kamu akan tahu apa yang Ayah tulis di situ."

Senja menyudahi lamunan saat Bentala menegurnya. Gadis itu mengusap sudut mata yang tiba-tiba saja basah. Kemudian mengambil napas dan mengembuskanya.

"Maaf, Om. Senja melamun."

"Melamunkan apa? Kalau ada sesuatu, ceritakan pada Om, ya. Apa pun itu. Om akan mendengarkan."

Senja terdiam sejenak. Diambilnya sebuah foto yang selalu ia selipkan dalam buku pemberian sang ayah belasan tahun lalu. Kemudian memandangi potret seorang anak laki-laki berambut hitam lebat yang duduk bersamanya di ayunan.

"Om masih ingat sahabat yang pernah Senja ceritakan enam tahun lalu?" tanyanya ragu-ragu.

Sejak berusia sepuluh tahun, Senja memang sudah berkomunikasi dengan Bentala. Itu merupakan satu-satunya kebebasan yang diberikan oleh Adijaya dan Rina padanya.

"Iya. Kenapa dengan dia? Kamu sudah bertemu lagi dengannya, hm?"

Senja menghela napas, lalu menyandarkan tubuh ke punggung kursi belajar. Seulas senyum kecil membingkai wajah gadis itu. Membayangkan momen-momen yang akhir-akhir ini membuat tidurnya tidak nyenyak.

"Senja merasa dia ada di sekitar Senja."

Pria di seberang sana mengernyitkan dahi. "Jadi sudah bertemu atau belum? Kamu membuat Om bingung, Sayang."

*****

"Lo udah baca surat dari gue?" tanya Aldi to the point. Senja mengangguk singkat.

Tepat satu menit usai bel istirahat berbunyi tadi, Aldi mendatangi kelas XI IPA 1. Kemudian dengan tenang dan tanpa permisi, ia menarik tangan Senja, lalu membawa gadis itu ke taman belakang sekolah. Mengabaikan tatapan heran seisi kelas dan usaha Senja melepaskan cengkeramannya. Beruntung, guru yang mengajar di kelas XI IPA 1 sudah keluar begitu bel berbunyi.

Nabastala Senja (END)Where stories live. Discover now