11. Kecurigaan

517 72 6
                                    

If you like and enjoy this story, please appreciate this story by giving vote and some comment.

Thank you.

*****

"Dari mana saja?!" bentak sebuah suara saat Senja baru saja menutup pintu utama rumah mewah keluarga Adijaya.

Senja membelalakkan mata begitu melihat orang yang ia hindari sudah berdiri dengan raut tidak bersahabat di depannya. "P—Papa?"

"Kenapa? Terkejut karena Papa tahu kamu pulang bersama laki-laki?!"

Senja mengerjapkan mata, nyalinya ciut seketika. "Senja bisa jelaskan."

Belum sempat gadis itu memulai penjelasan, sebuah tamparan selamat datang mendarat di pipi kiri. Tidak dapat dijelaskan lagi bagaimana rasanya. Panas, perih, dan sakit. Bahkan, kepala gadis itu kini terasa pusing. Efek tamparan tangan besar tadi memang sangat dahsyat. Apalagi, tangan itu memang terlatih oleh barbel dan treatment lainnya setiap hari Sabtu di sebuah pusat kebugaran.

"Anak tidak tahu diuntung! Mau jadi apa kamu?! Kamu pikir bagus pulang diantar laki-laki? Merasa bangga karena sudah punya pacar?! Tidak butuh saya lagi?!"

Meskipun dalam keadaan marah, Adijaya masih menjaga volume suaranya agar tidak terdengar oleh Caca yang sedang berada di kamar di lantai dua, menerima telepon dari teman. Rina sendiri memang belum pulang lantaran tokonya sedang ramai pembeli.

"Bu—bukan, Pa. Itu teman Senja." Senja menunduk takut sambil memegangi pipi kirinya. Air yang akan menerobos melalui ujung mata, cepat-cepat ia seka.

Adijaya mendengkus kasar. Pria itu tersenyum miring sambil menjambak rambut panjang Senja. Ia mendongakkan kepala gadis itu. “Sekali lagi saya lihat kamu pulang dengan laki-laki, habis kamu di tangan saya,” desisnya, sebelum pergi begitu saja.

Senja terisak pelan di tempatnya. Gadis itu tidak menyangka akan mendapatkan perlakuan kasar seperti tadi. Meski jambakan bukan lagi hal yang asing baginya. Namun, tamparan seperti itu baru kali ini ia dapatkan. Ia tidak bisa menyalahkan siapa pun. Baginya, apa yang dilakukan oleh sang ayah merupakan bentuk kekhawatiran.

Satu pertanyaannya, dari mana sang ayah tahu bahwa ia diantar pulang oleh teman laki-laki? Bukankah ia sudah turun jauh dari rumah? Menepis pertanyaan itu, ia berjalan tergesa menaiki anak tangga menuju kamar. Ia tidak ingin satu orang pun melihatnya dalam keadaan seperti saat ini.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Senja keluar kamar bermaksud turun ke dapur. Gelas yang biasa ia letakkan di nakas kamar sudah kosong dan ia akan mengisinya. Namun, pandangan gadis itu tersita oleh Caca yang sedang duduk di sofa ruang keluarga bersama sang ayah. Rasanya, ia begitu ingin menjadi Caca, bisa dekat dan diperlakukan bak seorang princess oleh sang ayah.

“Eh, Kak Senja. Tadi diantar sama pacar, ya, Kak? Cie ... udah punya pacar aja,” seloroh Caca yang menyadari sedang dipandangi dari jarak jauh oleh Senja.

“Eh, enggak. Bukan, Ca.”

"Kalau memang yang dikatakan Caca itu pacar kamu, ajak ke rumah. Kenalkan ke Papa dulu, Sayang," sela Adijaya tanpa menoleh.

"Nah, iya. Caca cuma lihat sekilas tadi. Enggak tahu kayak apa mukanya. Apalagi dia pakai helm full face." Caca memicingkan mata berusaha mengingat kejadian tadi. Gadis yang masih duduk di bangku kelas dua SMP itu sedang berada di balkon kamar saat tanpa sengaja melihat sang kakak turun dari motor. Karena itulah ia iseng memberi tahu sang ayah.

Senja mendesah berat. "Dia hanya teman. Kakak enggak akan bawa dia ke rumah juga. Lagipula, tadi dia mengantar Kakak karena kepepet." Senja menekankan kata “teman”, berharap sang ayah percaya dengan penjelasannya.

Adijaya tersenyum miring. Pria itu masih fokus pada tayangan film laga di televisi. Sebenarnya, ia percaya pada sang putri sulung. Namun, ia hanya ingin memberi peringatan kepada putrinya. Ia ingin putri yang ia besarkan belasan tahun itu menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh keluarga.

“Wah, seru sekali. Kalian ngobrol apa?” tanya sebuah suara lembut yang tiba-tiba muncul.

“Bunda pulangnya sore banget, sih? Papa aja udah pulang,” rengek Caca saat sang bunda duduk di sampingnya.

“Maaf, Sayang.”

Senja yang sudah selesai mengisi gelas, menghampiri sang bunda. Gadis itu mencium tangan wanita berhijab yang sedang mengusap kepala Caca. Tidak lupa dengan senyum yang ia ukir semanis mungkin. Tentu saja dibalas dengan senyum yang sama manisnya.

"Oh iya, Bunda. Kak Senja udah punya cowok," adu Caca pada sang bunda. Sontak, sang bunda langsung menatap ke arah Senja yang duduk berseberangan dengannya. Beruntung tamparan tadi tidak berbekas di pipi Senja. Jadi, tidak ada yang curiga.

"Benar begitu, Senja?"

“Enggak, Bun,” sahut Senja cepat, lalu beralih pada sang adik yang kini mengangkat dua jari pertanda damai. “Tadi, 'kan, Kakak udah jelaskan.”

"Bagus kalau begitu. Bunda ingin kamu fokus belajar. Prestasi itu nomor satu. Masih ingat, Bunda sering bercerita bagaimana cerdasnya ayahmu saat remaja, 'kan?” Nasihat sang Bunda membuat Senja tersenyum tipis, lalu mengangguk. Bagaimana tidak ingat, hanya belajarlah yang memang selalu menjadi topik pembicaraan sang bunda bersama gadis cantik itu. Obrolan lain hanya sekadar basa-basi atau formalitas saja.

"Ekhem! Tadi siapa yang telepon kamu, Sayang?" Adijaya mengalihkan pembicaraan sambil menatap sang putri bungsu dengan lembut.

Menyadari sesuatu, Rina berdehem pelan, lalu menoleh ke arah Caca. "Siapa, Sayang?"

"Alina. Dia tanya, Caca benaran datang ke pameran atau enggak."

Rina dan Adijaya manggut-manggut. “Jadi datang dengan Kak Senja, 'kan?”

“Jadi, Bun.”

“Bun, mulai hari ini, setiap Selasa dan Kamis, Senja ikut ekskul musik. Boleh, 'kan?” Senja memang sengaja meminta izin di depan sang ayah langsung, sekaligus penjelasan mengapa ia pulang hampir petang.

“Boleh saja, asal tugas utamanya jangan lupa. Masih ingat kalau Bunda ingin kamu selalu berada di peringkat tiga besar, 'kan? Kamu juga tahu bahwa porsi belajar kamu tidak akan berkurang meskipun ikut ekskul, ‘kan?”

Senja mengangguk. Bagaimana mungkin ia bisa lupa. Sang bunda saja hampir setiap hari mengingatkannya tentang hal itu. Jadi, apa yang bisa dilakukannya selain menurut dan berusaha melakukan yang terbaik. Ia sudah bertekad dalam hati bahwa ia ingin membanggakan kedua orang tuanya. Salah satunya dengan mendapatkan peringkat minimal tiga besar di kelas dan prestasi akademik lainnya.

Setelah membawa gelasnya yang sudah terisi penuh, ke kamar, Senja kembali turun. Bukan ruang keluarga tujuannya, melainkan dapur. Gadis itu memang hampir selalu membantu pekerjaan dapur Lastri—asisten rumah tangga mereka. Biasanya ia selalu membantu wanita itu ketika sang bunda masih sibuk di toko dan sang ayah belum pulang dari kantor. Meski begitu, ia hampir tidak pernah terlibat obrolan dengan Lastri selama di dapur.

Seperti saat ini, Senja sedang menata ayam krispi kesukaan Caca di piring. Tidak lupa gadis itu menambahkan garnish berupa selada di tepiannya. Lastri yang sedang menuangkan sup, sampai geleng-geleng memperhatikan anak majikannya yang kelewat rapi dan perfeksionis itu.

“Bantu Bunda bawa semuanya ke meja makan, ya.” Rina yang sudah selesai mengaduk susu untuk Caca dan teh untuk sang suami pun beranjak dari pantry.

“Non rajin sekali, sih. Tidak lelah habis pulang sore?”

Senja menoleh mendengar pertanyaan dari Lastri. Gadis itu menggeleng dan segera pergi membawa dua piring berisi lauk pauk yang masih panas. Dalam hati, ia bersyukur masih ada yang peduli dan bertanya tentang keadaannya. Sekalipun pertanyaan itu bukan keluar dari bibir keluarganya.

*****

TBC

Republish

Nabastala Senja (END)Where stories live. Discover now