44. Penjelasan (2)

386 47 4
                                    

If you like and enjoy this story, please appreciate this story by giving vote and some comment.

Thank you.

*****

"Bagaimana kalau hal lain? Bukan sekadar sebuah janji, tapi aku pastikan kamu bisa mempercayainya."

Senja mengernyitkan dahi. Mulai penasaran dengan apa yang akan dikatakan Nabastala selanjutnya. "Apa?" tanyanya sambil menoleh cepat.

"Aku mencintaimu, Sa."

Selama beberapa detik, pandangan mereka terkunci satu sama lain. Senja masih terlalu terkejut dengan ungkapan Nabastala. Meskipun kalimat itu sudah diungkapkan Nabastala beberapa saat sebelum pingsan. Namun, ia masih tidak percaya dan mengira sedang berada di alam mimpi.

"Sa?"

"Hm?" Senja menyahut tanpa mengalihkan tatapannya.

"Hei, kamu mendengarkan ucapanku, 'kan?" tanya Nabastala memastikan.

Senja mengerjapkan mata, lalu membuang pandangan ke arah sepatunya. "Kenapa justru pernyataan cinta?" lirihnya.

"Karena hanya itu yang bisa kupastikan. Seenggaknya untuk saat ini. Itulah kenapa aku mengatakan bahwa hati kita udah terpaut sejak lama. Karena memang hatiku udah menjadi milikmu sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan aku enggak mengizinkan kamu memberikan hati kepada cowok mana pun."

Senja mengulum senyum diam-diam. "Posesif," gumamnya.

"Memang. Aku terlalu takut dikhianati. Jadi, sebisa mungkin aku akan menjaga apa yang udah menjadi milikku."

"Tapi aku enggak suka kamu bertengkar dengan Aldi. Nabastala yang kukenal enggak seperti itu."

Seulas senyum hadir di bibir Nabastala. Pemuda itu berdiri, lalu mengulurkan sebelah tangannya kepada Senja. "Aku usahakan pertengkaran itu adalah yang terakhir. Ayo pulang!"

*****

"Apa ini?! Coba jelaskan pada Papa dan Mama!"

Wira menelan ludahnya susah payah saat sebuah video dari ponsel sang ayah diputar di hadapan. Ia masih sangat ingat kapan dan di mana momen dalam video itu diambil. Bahkan, rasanya ia masih merasakan betapa lepas ia malam itu. Betapa bahagianya berada dalam dunia yang ia impikan sejak kecil. Tanpa mendapat halangan apa pun.

"Kenapa diam saja?" tanya sang bunda. "Apa yang kamu harapkan dari kegiatan manggung seperti itu?"

Wira menunduk. Ia sadar bahwa itu merupakan kesalahannya. Berkali-kali kedua orang tua pemuda berambut cepak itu melarangnya menerima tawaran manggung. Namun, berkali-kali juga ia mengabaikan larangan itu. Hingga saat ini ia tidak mampu lagi mengelak. Bukti sudah ada di depan mata.

"Malam itu, anak sahabat seprofesi Papa datang menyaksikan pameran itu. Dia melihat kamu dan Nabas berada di panggung," jelas sang ayah tanpa diminta. "Kenapa kamu melanggar peraturan Papa dan Mama, huh?"

"Wira cuma pengen menikmati dunia Wira, Pa. Apa salah?" Wira mengangkat wajah, memberanikan diri menatap sang ayah. "Selama ini Wira selalu nurut sama apa kata Papa dan Mama. Tapi apa pernah, Papa sama Mama ngerti sedikit aja keinginan Wira?"

"Musik enggak bikin Wira jadi anak bodoh. Musik enggak bikin Wira lalai sama nilai akademik Wira. Musik juga enggak mengubah Wira jadi anak berandalan yang enggak ngerti jam pulang. Wira masih tahu batas, Pa, Ma."

Sang ayah memijit pangkal hidung. Kemudian duduk di sofa sambil menyandarkan punggung yang lelah akibat operasi yang ditanganinya selama beberapa jam. Pria itu melirik sang putra yang masih setia berdiri. Sebelum kemudian memberi isyarat supaya sang istri berbicara.

Nabastala Senja (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora