46. Gangguan dan Hal Manis (2)

371 49 9
                                    

If you like and enjoy this story, please appreciate this story by giving vote and some comment.

Thank you.

*****

Senja menyembunyikan rasa sakit yang mengganggu saat melihat sang bunda duduk merenung menghadap jendela. Wanita yang masih cantik meskipun sudah tidak muda lagi itu tampak lebih pendiam sejak kejadian kebakaran kemarin malam. Nafsu makan wanita itu pun berkurang. Seandainya Adijaya tidak memaksa untuk sarapan, wanita itu tidak akan makan.

Dengan langkah pelan, Senja menghampiri sang bunda. Melingkarkan lengannya untuk memeluk wanita itu dari samping. Kemudian memberikan sebuah kecupan kecil di pipi. Suatu hal yang sederhana, tapi mampu mengukir senyum sang bunda.

Enam belas tahun hidup bersama membuat Senja memahami apa yang membuat sang bunda seperti saat ini. Meskipun kecelakaan Cakrawala terjadi saat gadis itu baru berusia tiga tahun, tapi ia sudah sedikit mengerti bagaimana terpuruknya sang bunda saat itu. Bahkan, ia yang notabene masih sangat memerlukan sentuhan kasih sayang pun sempat diabaikan. Setiap hari sang bunda melamun, terkadang sampai lupa bahwa wanita itu memiliki bayi mungil yang masih merah.

"Jangan tinggalkan Bunda, ya, Sa," pinta Rina setengah berbisik. Ditatapnya sendu wajah Senja yang selalu mengingatkannya akan Cakrawala.

Senja tersenyum hangat. "Sa di sini sama Bunda. Caca juga."

Rina tersenyum, lalu balas memeluk sang putri sulung dengan erat. Merasakan setiap detik dekapan hangat sang putri. Dekapan yang baru ia sadari sudah jarang ia terima. Bukan karena Senja tidak ingin memeluknya, melainkan ia sendiri yang tanpa sadar menjauh dari gadis itu. Dekapan yang hanya ia berikan saat Senja menerima penghargaan atas prestasi akademik.

Selama delapan tahun terakhir, Rina memang tidak terlalu dekat dengan Senja. Sejak berusia delapan tahun, Senja sudah diikutkan berbagai bimbingan belajar yang menyita waktu. Sementara hari-hari Rina disibukkan dengan mengasah keahliannya dalam membuat aneka kue dan roti. Di saat senggang pun ia lebih sering menghabiskannya dengan menemani Caca kecil melukis di samping kolam renang. Terkadang juga menemani Adijaya melakukan perjalanan bisnis ke beberapa kota di Jawa Barat.

Rina menyadari bahwa hubungannya dengan Senja mulai renggang setelah lebih dari empat tahun menikah dengan Adijaya. Pria yang ia anggap sebagai orang berjasa itu terlihat tidak begitu dekat dengan Senja. Pria itu lebih dekat dan terlihat sangat menyayangi Caca. Apa pun yang Caca inginkan, selalu dituruti oleh pria itu. Lain halnya jika Senja yang meminta. Pria itu akan memberikan syarat. Salah satunya ulangan harian yang harus mendapatkan nilai sempurna.

Namun, itu semua merupakan hal yang wajar di mata Rina. Sebab, ia menginginkan Senja yang notabene anak sulung, menjadi gadis kuat, disiplin, dan pekerja keras. Karena itulah, ia hanya bisa diam saat Adijaya mendidik Senja dengan keras sejak berusia delapan tahun. Apalagi, ia merasa memiliki utang budi pada pria itu. Utang budi yang dianggapnya hanya bisa dibayar menggunakan pengabdian sebagai seorang istri.

"Setelah makan malam, sebelum kita berangkat ke toko kemarin, papamu bercerita bahwa dia bertemu Nabas di kantor klien. Bunda sempat tidak menyangka bahwa Nabas yang dekat dengan kamu akhir-akhir ini adalah Nabas putra Bang Bagas," celetuk Rina sambil mengurai pelukan, lalu tersenyum jahil. "Dan sepertinya Nabas bukan lagi menyayangimu seperti dulu. Bunda bisa melihat bagaimana dia menatap putri Bunda ini."

Senja berusaha tetap menampilkan raut tenang, seolah perkataan sang bunda tidak berpengaruh apa-apa. Padahal, kedua pipinya memanas. Sementara detak jantungnya terasa lebih cepat. Ia tidak tahu apa yang dirasakannya pada Nabastala. Meskipun ia merindukan pemuda itu setiap waktu selama enam tahun terakhir.

Nabastala Senja (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang