10. Ekstrakurikuler Musik (2)

535 79 2
                                    

If you like and enjoy this story, please appreciate this story by giving vote and some comment.

Thank you.

*****

"Rasa dalam lagu itu tersampaikan dengan sangat baik melalui suara kamu. Sayangnya, ekspresi kamu masih kurang, Senja." Bu Sofia memberikan penilaiannya atas penampilan perdana Senja tadi.

Sementara Senja yang sudah kembali ke tempat duduknya, hanya tersenyum sambil mengangguk. Ia maklum terhadap penilaian yang diberikan untuknya. Gadis itu memang merasa sulit mengekspresikan diri di depan banyak orang. Bahkan, bisa dikatakan ia hanya menunjukkan senyum tipis dan tatapan teduhnya kepada sang bunda dan sang adik. Meski di balik itu semua, ia menyimpan luka yang tidak tampak oleh siapa pun.

*****

"Gila, Ja! Suara lo tadi, tuh, bagus banget!" seru Rere dengan hebohnya. Gadis dengan rambut di-curly itu merangkul bahu Senja saat keluar ruang musik. Sementara Senja hanya tersenyum seadanya.

Senja perlahan melepaskan rangkulan lengan kanan Rere. Gadis itu kemudian merogoh tas bagian depan, tempat di mana ia menyimpan uang saku. Wajah gadis itu berubah muram saat menyadari bahwa uangnya tidak akan cukup untuk membayar angkutan umum. Apalagi saat jam kosong tadi, guru piket memanggil Ilham untuk mengambil soal-soal latihan dari guru mata pelajaran Biologi. Siswa XI IPA 1 diminta untuk memfotokopi soal-soal itu.

"Kenapa, Ja?" Rere yang kini sibuk dengan ponsel pintarnya, menoleh sesaat. Gadis itu baru saja mengirim pesan kepada sang sopir untuk mengabarkan bahwa ia sudah selesai mengikuti ekstrakurikuler.

Senja menggeleng, bertepatan dengan dering ponsel Rere. Ia tersenyum tipis saat Rere menerima panggilan yang ternyata dari sang ayah. Senja membiarkan Rere berjalan lebih dulu untuk memberi ruang supaya gadis itu bisa berbincang lebih leluasa dengan orang di seberang telepon. Ia melirik jam di pergelangan tangan, jam lima lebih tujuh belas menit.

"Iya, Papi. Ya ampun, Papi enggak percayaan banget sama anak sendiri. Ini sopirnya juga udah di depan sekolah." Rere melambai ke arah sang sopir yang sudah menunggu tak jauh dari gerbang.

"Bye, Papi. Love you too." Setelah mengakhiri panggilan, ia segera berlari menghampiri sang sopir.

Senja yang tadi berjalan pelan di belakang Rere, tidak sengaja mendengar percakapan gadis itu. Ia tersenyum kecut, bertanya-tanya dalam hati, mengapa hubungannya dengan sang ayah sangat dingin. Jangankan saling mengucapkan kalimat manis seperti "love you", sekadar berbincang hangat pun hanya terjadi ketika sedang ada sang bunda atau sang adik. Selebihnya, mereka seperti dua orang yang berbeda kutub.

"Mau kuantar?" Suara berat dari arah samping itu membuat Senja menoleh dan sedikit mendongak lantaran pemilik suara tadi memang jauh lebih tinggi darinya.

"No, thanks." Senja kembali menatap lurus ke depan. Ia kini sudah melewati tempat parkir sekolah. Diam-diam, ia melirik ke arah kanan, di mana suara tadi berada. Namun, ia tidak mendapati lagi pemilik suara itu.

Senja terkejut saat kakinya mulai melangkah keluar gerbang. Suara deru mesin motor besar mendekati dirinya. Gadis itu pun menghela napas kasar, sebelum akhirnya menoleh. Orang yang tadi menawarkan diri untuk mengantar pulang, ternyata belum menyerah. Ia mendapati sang pemilik motor yang juga sedang menatap ke arahnya. Bukan dengan senyuman, melainkan wajah datar yang sangat kentara.

Nabastala Senja (END)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें