7. Terulang Kembali

705 81 36
                                    

If you like and enjoy this story, please appreciate this story by giving vote and some comment.

Thank you.

*****

Atma masih memandangi tubuh kokoh sang cucu yang pada kenyataannya tidak sekokoh yang terlihat. Di dalam tubuh cucu satu-satunya itu terdapat jiwa yang rapuh. Sisi lain yang disembunyikan oleh sang cucu dari orang-orang di luar sana. Sisi lain yang tidak pernah tersentuh.

Sudah satu jam sejak teman-temannya berpamitan pulang setelah mengantar dengan selamat, Nabastala masih setia bergeming. Dadanya naik-turun, tubuh kekar itu juga berkeringat dingin. Bahkan, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh sang nenek sejak tadi, tidak ada satu pun yang ia jawab.

“Bas—” Sebuah tangan keriput menyentuh bahu lebar Nabastala. Tangan siapa lagi kalau bukan tangan Atma--wanita yang merawatnya sejak enam tahun yang lalu.

“Nabas gagal lagi, Oma.” Nabastala menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. “Rasanya masih sesakit ini saat ingat semuanya. Nabas—”

Tangan yang tadi hanya menyentuh bahu Nabastala, kini mulai memberikan usapan lembut. “Sudah, tidak usah diteruskan. Oma mengerti, sangat mengerti. Lupakan apa yang membuat kamu menjadi seperti ini. Lupakan kejadian tadi. Kamu merupakan satu-satunya penerus keluarga Satya. Kamu tidak boleh kalah dari sesuatu yang sebenarnya bisa kamu lawan.”

Nabastala menurunkan kedua tangannya, lalu memejamkan mata. Pemuda itu mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Enam tahun sudah ia berusaha lepas dari belenggu masa lalu yang menyakitkan. Bahkan, sampai harus datang ke psikiater secara rutin sejak berusia sebelas tahun. Namun, ia merasa tidak ada perubahan yang berarti. Membuat ia memutuskan untuk berhenti satu tahun yang lalu.

Sang psikiater mengatakan bahwa akan sia-sia menjalani terapi itu jika pasien sendiri tidak memiliki keinginan untuk sembuh. Meskipun sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati Nabastala, ia ingin sembuh. Namun, kejadian enam tahun lalu sangat sulit untuk ia lupakan. Luka yang ia rasakan telah menyentuh palung terdalam hatinya.

“Sekarang, lebih baik kamu istirahat. Oma juga ingin istirahat,” saran sang nenek sambil menepuk bahu Nabastala. Wanita itu kemudian beranjak dari sofa ruang tengah, disusul oleh Nina yang dengan cekatan memapahnya ke kamar.

Nabastala bergeming selama beberapa saat, sebelum akhirnya bangkit juga dari sofa. Pemuda berperawakan tinggi itu melangkah menuju anak tangga yang menghubungkan dengan kamarnya. Ia merasa butuh beristirahat. Meskipun mungkin tidak bisa langsung tidur, setidaknya ia bisa mengalihkan pikiran dari kejadian tadi.

Setibanya di kamar dan menutup pintu, ia memilih duduk di kursi belajar. Setelah mengambil napas dan mengembuskannya, ia meraih buku Matematika. Setidaknya, dengan mengerjakan soal-soal rumit itu, ia bisa melupakan kejadian tadi. Namun, isi pensil yang biasa ia gunakan, ternyata habis.

Dengan malas, ia menarik laci untuk mengambil isi pensil yang tersimpan di sana. Pandangannya tersita oleh sebuah foto polaroid yang bercampur dengan alat tulis. Muncul senyum tipis pada bibir pemuda itu.

“Aku akan cari dia, seperti yang Papa amanahkan,” gumamnya sambil mengusap salah satu sosok dalam foto itu, sebelum kemudian mengambil isi pensil.

*****

Spada! Good pagi, selamat morning!” seru Rere yang baru saja memasuki kelas. Keadaan kelas sudah terisi oleh hampir semua siswa yang sedang serius belajar, membuatnya menjadi pusat perhatian. Sontak, gadis itu pun mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya, pertanda damai.

Nabastala Senja (END)Where stories live. Discover now