"Garam itu bumbu dasar masakan, mana mungkin diberi jatah per hari. Kau harusnya cari alasan yang lebih—masuk akal," Naufal menyeruput sisa es susu cokelat di dalam gelas. "Lupa—contohnya. Meskipun tidak meyakinkan, tapi kedengaran di telinga lebih masuk akal. Asal sebut barusan menunjukkan kalau kau panik karena sedang menyembunyikan sesuatu; sebuah tambahan keyakinan bagi aku kalau memang Sulistiawati tewas bukanlah bunuh diri, melainkan dibunuh oleh kau."

"Kau pasti bercanda," Roni menggeleng sambil tersenyum simpul. "Kau berpikir sejauh itu hanya karena garam? Astaga—lagi pula kedai mana yang memasak kebab dengan tambahan garam? Daging kebab beda dengan daging di dalam burger atau sandwich—sudah diolah khusus dengan bumbu-bumbu sebelum dipanggang."

"Itulah alasan kenapa garam dan merica tidak masuk dalam perhitunganmu, kan? Karena kau tidak menyangka kalau akan ada pelanggan yang meminta. Sebetulnya kau bisa saja masuk ke gudang untuk mengambil persediaan, tapi kau punya pertimbangan tersendiri untuk menolak permintaan itu. Kalau kau masuk ke dalam gudang, meskipun hanya sebentar, tetap saja akan menimbulkan kecurigaan polisi," Naufal menunjuk kamera CCTV di sudut kedai. "Demi melancarkan aksimu, kau harus punya alibi yang benar-benar kuat. Tentu saja alibi paling kuat adalah saat kau diam di ruangan yang sama dengan kami tanpa melakukan hal yang mencurigakan, lengkap terekam kamera pengawas pula sebagai bukti fisik."

"Lalu dengan tanpa melakukan hal yang mencurigakan, bagaimana caraku membunuh Mbak Wati? Belum lagi pistol yang ditemukan di dalam toilet, kurang jelas apa lagi situasi macam itu untukmu? Jelas sekali dia bunuh diri!"

"Aku tidak tahu jawaban atas pertanyaanmu yang kedua," Naufal kembali mengunyah. "Ah, malah aku tidak perlu repot-repot cari tahu—karena jawaban atas pertanyaan pertamamu barusan sudah cukup untuk menjebloskan kau ke penjara."

"Kalau kita fokus pada hal yang mustahil, tentu kita tidak akan pernah menemukan jawabannya; karena sebetulnya sederhana: tanpa melakukan hal yang mencurigakan itulah caramu membunuh Sulistiawati."

Wajah Roni yang tadi sempat sekali-dua kali memasang senyum, kini sudah sempurna melotot penuh emosi. Meski jawaban Naufal masih ambigu, tampaknya Roni sudah duluan membaca ke arah mana penjelasan Naufal bermuara.

"Mari kita reka ulang semua hal yang kau lakukan sejak korban masuk ke dalam toilet," Naufal menepuk meja satu kali. "Pak Anwar—sebagai penyidik dengan pangkat tertinggi di ruangan ini, silahkan anda saja yang melakukan. Saya jamin anda akan langsung berubah pikiran begitu ini semua selesai."

Anwar bangkit berdiri, berjalan menuju meja dapur yang tadi disiapkan oleh Adyth. "Jujur, aku belum pernah sekali pun membuat kebab—" Anwar mulai menumpuk semua bahan ke atas tortilla. Meski seorang Ajun Komisaris Besar, ia tampak happy menerima tantangan tak masuk akal seorang remaja SMA. "—tapi kurasa bentuknya akan sama dengan sandwich kan, ya? Tinggal tumpuk dan—ah, sepertinya aku melupakan sesuatu," berbalik pria ini menghadap pemanggang, lalu perlahan memotong daging menggunakan pisau panjang.

"Eits, Pak! Bukan begitu caranya!" pekik Naufal saat Anwar memotong dagingnya terlalu dalam.

Anwar garuk-garuk kepala, ingin bertanya tapi mungkin malu untuk mengaku. Tidak ingin atasannya kehilangan muka, Andre gesit beranjak mendekat untuk membantu sang Kasatreskrim.

"Bapak harusnya memotong dagingnya dengan tipis," ujar Andre yang kini gantian memotong. "Daging yang dipakai untuk kebab atau shawarma, hanyalah sisi paling luar yang sudah mulai garing. Setelah sisi depan selesai kita iris, dagingnya kita putar untuk memotong sisi yang satu—"

Andre mendadak berhenti bicara karena tenaganya sekarang terpusat ke tangan dan kepala; tangan yang sekuat tenaga berusaha memutar daging bersama tusuk vertikalnya, dan kepala yang sedang sekuat tenaga menahan malu karena si daging enggan berputar. "Aneh," keluhnya setelah si daging tidak bergeming. "Harusnya daging ini bisa diputar, kan?"

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now