69. Keanjiran Yang Hakiki

1.4K 173 46
                                    

Anjir, bening banget!
-Geng Tengilnya Gava

...

SEPENINGGALAN Gava yang memacu kecepatan mobilnya meninggalkannya dan rumah, kekosongan melanda si bungsu. Rumah yang sepi seolah menelannya secara perlahan, isakannya bahkan tidak lagi mengeluarkan suara. Gava bilang Lisa kontraksi, yang otomatis Rama pasti ikut ke sana. Membuka pintu kamar dari salah satu abangnya, Ciara menangis lagi karena yang dilihatnya tidak lain adalah kekosongan. Suhu dingin mendadak menyakitkan baginya. Dia tidak tahu, tidak pernah tahu, ternyata seperti ini rasanya kekosongan yang sebenarnya.

Hampa.

Hatinya mendadak melompong.

Kosong.

Ciara keluar meninggalkan kamar yang penuh dengan buku-buku itu, lalu bergerak ke kamar yang ada di sebelah kamarnya. Tanpa mengetuk, Ciara membuka pintu kamar yang pemiliknya juga sangat dia butuhkan sekarang. Tapi, nihil. Lagi-lagi kamar itu kosong. Ciara menitikkan air matanya lagi. Mengamati pintu kamar Raffano yang ada di belakangnya, namun teringat jika Raffano sedang pergi ke pesta ulang tahun temannya, Ciara mengurungkan niatnya ke sana.

Satu-satunya tujuannya saat ini hanyalah kamarnya sendiri. Dia memutuskan menangis sendirian di kamarnya. Itu akan lebih baik untuk melepaskan segala afeksi tidak enak ini.

Mengesampingkan rasa tidak tenang yang menyambarinya mendengar Lisa yang kontraksi juga Gava yang pergi meninggalkan rumah, agaknya Ciara perlu menenangkan dirinya sendiri tanpa mengkhawatirkan orang lain. Seketika pikiran buruk menghampirinya.

Buat apa lo khawatir sama orang yang bahkan nggak bisa ngeliat kekhawatiran lo?

Gava. Hanya nama itu yang ada di kepala Ciara saat bisikan buruk itu datang ke kepalanya. Ciara mengkhawatirkan Gava dan Kashi secara bersamaan, lalu mencoba ikut campur menyelesaikan masalah, mencoba menyelami keadaan yang menimpa abang dan sahabatnya. Tapi bukannya respon baik, Ciara justru mendapatkan perlakuan tidak baik dari keduanya.

Ciara terkekeh samar, merasa muak dengan dirinya yang terlalu naif. Apa Ciara memang terlalu polos? Terlalu ikut campur? Terlalu mau tahu dan mendamba pengakuan? Apa Ciara tidak melakukan hal yang benar sehingga ini yang diterima olehnya? Apa usahanya benar-benar tidak layak mendapatkan respon baik?

Dia tidak tahu jika air mata yang mengering, suhu dinginnya malam, serta kepalanya yang mendadak sakit karena menangis bisa membuatnya sememalukan ini.

Membuka pintu kamarnya sendiri, Ciara hampir tidak menyadari ada sesuatu yang aneh di sana. Dengan langkah kaki yang tertatih-tatih serta dadanya yang sesenggukan, Ciara tetap tidak sadar apa pun. Tungkainya mendekati sakelar dan menekan stop kontak di sana, lampu pun menyala, masih dengan langkah yang tertatih dan tidak mengamati sekitar, Ciara bergerak menutupi pintu kamarnya, berniat mengurung dirinya sendiri malam ini. Sendirian.

Namun, tepat saat gadis itu berbalik, menatap ke arah kasur yang sudah sejak tadi dalam pikirannya, tempat yang akan menjadi sarananya meredam kesakitannya sendirian; mendapati sosok lain selain dirinya di sana, Ciara buru-buru menghapus air matanya. Cepat-cepat mengusap kasar wajahnya, menarik napas sama cepatnya, sebelum menarik sudut bibirnya untuk sebuah senyuman andalan miliknya.

"B-bang?" Sialan. Ciara sudah berusaha, tapi nampaknya sia-sia, suaranya mengalun bergetar tanda tipuannya tidak berhasil.

Sosok itu berdiri, melepaskan kaca mata yang tadi dipakainya, menurunkan kakinya dari atas kasur adiknya, lalu membawanya mendekati Ciara yang nampaknya terlalu enggan mendekat. Atau... terlalu takut. Entahlah.

SIBLING'SWhere stories live. Discover now