87. Upin Ipin (2)

635 99 4
                                    

Gava katanya lagi galau gara-gara Kashi nggak main ke sini lagi.
-Gavin

•••

Minggu kali ini terasa menyenangkan. Rama tidak bekerja dan memutuskan untuk bermain dengan Sam yang mulai belajar bicara. Meski hanya kata 'ma' yang bisa bayi itu ucapkan, tetap saja membuat kedua orangtuanya terlihat begitu bahagia. Begitu juga Andi yang tersenyum tipis dan sesekali menganggukkan kepalanya sembari mengawasi Sam dari kejauhan, nampak seolah bangga dengan pertumbuhan bayi itu.

Raffano ada di kamarnya. Jangan tanya sedang apa. Tentu saja sedang berkencan dengan buku-bukunya. Memangnya apa lagi?

Gavin juga ada di rumah, menonton keributan adik-adiknya yang entah kenapa tidak pernah kenal kata finish. Teriakan Ciara melengking merusak ketenangan di ruang tengah. Bukan tanpa sebab gadis itu berteriak, tentu saja penyebabnya adalah Gava dan Jonathan.

Mereka bertiga baru saja keluar membeli es krim di minimarket depan kompleks dan kembali dengan kebisingan masing-masing. Gavin pikir mungkin Jonathan merebut es krim milik si bungsu hingga gadis itu mengomel, tapi ternyata omelan Ciara meluas hingga ke mana-mana.

"Kata siapa?" suara si Bungsu terdengar sangat jengkel. Matanya bahkan menyorot peperangan terhadap Jonathan.

"Kata gue, lah."

"Sok tau!" seru gadis itu lagi. Gavin mengamati, masih tidak mengerti ke mana arah pembicaraan. Terlalu melayang jauh hingga terasa samar untuk dicermati.

"Pada ributin apaan, sih?" Gavin memutuskan bertanya pada saudara kembarnya yang kini berjalan mendekat. Duduk di lantai, di dekat kaki Gavin yang duduk di sofa.

Gava masih tertawa, menghabiskan sisa-sisa hiburan yang disuguhkan kedua adik bungsunya. Lelaki itu kemudian menggeleng kecil, masih dengan senyuman lebarnya. "Ya, biasa. Yang satunya haus pengakuan dan yang satunya gengsi."

Mengerti inti masalah, Gavin lantas ikut terkekeh. Tentu dia paham benar siapa yang haus pengakuan dan siapa yang gengsi itu. Obsidiannya kembali menatap Gava yang mulai melapor.

"Si Ciara ogah ngakuin kalo abang favoritnya itu si Jo, dia kukuh bilang kalo abang favoritnya cuma Andi. Padahal, nih, ya, kalo kita tanya pendapat Andi, dia juga bakalan milih Jonathan sebagai abang favoritnya Ciara. Serumah juga keknya tau soal ini, deh." Gava tertawa lagi, wajahnya terangkat menatap air muka kembarannya yang kini ikut terkekeh geli. "Emang gengsinya selangit adek lo, tuh. Ngeselin."

"Kayak lo enggak aja." Gavin memukul pelan bahu saudaranya. "Siapa dulu yang terang-terangan nolak temen cowoknya Ciara main ke sini? Padahal serumah juga tau lo pelakunya, sok nggak mengakui pula."

"Lo," Gava menatap kembarannya sinis, "ngomong lagi gua gaplok, nih."

Gavin tertawa keras jadinya. Ada-ada saja.

"Lagian waktu itu Ciara masih bocah. Yakali gua biarin main sama cowok." Disaat Gavin mulai memfokuskan pandangan ke arah dua bungsu, Gava tahu-tahu melanjutkan. "Mana waktu itu gua lagi bandel-bandelnya. Mulai paham soal gitu-gituan ...." kalimatnya terhenti. Gava berdeham halus saat menyadari tatapan aneh dari Gavin. "M-maksud gua, waktu itu gua udah ngerti kalo anak-anak remaja masih labil dan cenderung ambisius."

Gavin mengangguk-angguk kecil seolah menyetujui ucapan saudaranya sebelum kemudian berceletuk. "Kek lo dulu, dong? Yang nekad nyosor temen cewek lo karna lo ditolak?"

Bola mata Gava melebar bersamaan dengan kedua alisnya yang merapat. Gava rasa, jika bukan karena warna kulitnya yang tak terlalu putih, rona merah pada wajahnya mungkin saja sudah tercetak jelas.

SIBLING'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang