89. Rumah Nita

488 77 19
                                    

Zra, Pak Hadi tadi bilang Nita belum keluar dari pagi, kan?
-Ciara

•••

Agak aneh jika ucapan si kembar, Gava dan Gavin, dipatuhi oleh Ezra. Pasalnya Ezra datang membawa motor. Bagaimana caranya mereka tidak bersentuhan, padahal Ciara sendiri tipikal orang yang akan selalu menyentuh supir jika sedang menaiki motor. Ciara sendiri tahu benar jika kedua abangnya tidak serius. Sedang Ezra justeru dibuat terkikik kecil melihat bagaimana Gavin berlari mengejar mereka hingga melupakan kesan wibawa yang semula laki-laki itu suguhkan. Ah, Ezra mungkin terbilang sering mengunjungi  kediaman Rajendra, tapi berinteraksi dengan Gavin agaknya terbilang sangat jarang.

Katanya Rama gila kerja, tapi nyatanya Gavin yang lebih jarang berada di rumah.

"Lo tahu alamat rumahnya Nita dari mana, Zra?" Suara khas perempuan menyapa rungu tak terlalu jelas, suara-suara motor di sekitar mereka meredam volume vokal gadis itu. Ezra bergumam kecil meminta Ciara mengulangi pertanyaannya. "Lo tahu alamat rumahnya Nita dari siapa?" Akhirnya Ciara sedikit menaikkan oktaf.

Si supir melirik kaca spionnya sebelum berbelok ke arah kiri, yang tentunya setelah menyalakan lampu sein tanda mereka akan berbelok. Lalu di sanalah jalanan mulai tenang, motor dan angkutan umum memang masih terlihat, tapi tidak sepadat jalan yang sebelumnya. Ezra mulai melaju pelan, menikmati siang yang tidak terlalu terik dan pepohonan yang berbaris amat rapi di kiri kanan jalan menyuguhkan udara sejuk.

Ciara hampir protes karena Ezra tidak menjawab pertanyaannya. Namun, sebelum mulutnya terbuka untuk kalimat protes, Ezra lebih dulu angkat suara.

"Aku pernah nganter temen yang lagi sakit, kebetulan mereka satu gang."

"Oh, gitu." Ciara tidak akan menampik fakta tentang indahnya jalanan ini, usai disuguhkan pepohonan hijau, bunga-bunga dengan berbagai warna kini menyita penuh perhatiannya. Dia terkesima. "Masih jauh, Zra?" tanyanya sebab penasaran sejauh apa rumah teman yang tahu-tahu sudah teralihkan oleh tanaman-tanaman itu.

"Udah deket, kok."

Maka tak berselang lama setelah itu Ezra berbelok sekali lagi dan memasuki gang yang lebih sepi. Jalanan di sini juga tidak sebagus yang sebelumnya, terdapat beberapa lubang yang membuat motor bergerak sesuai lajur. Ciara mengeratkan pegangan pada bahu Ezra, bukan karena takut jatuh, hanya saja perlu persiapan kalau-kalau terjadi sesuai di luar dugaan.

Lalu, mereka berhenti di depan rumah yang tidak terlalu besar, juga tidak bisa dibilang kecil. Bangunan berwarna cokelat kayu itu nampak nyentrik di tengah bangunan-bangunan berwarna putih, cream, biru muda, dan warna cerah lainnya.

"Ini rumahnya?"

"Iya."

Bangunan itu juga tidak buruk. Hanya saja terlihat lebih suram jika dibanding dengan rumah-rumah lainnya. Ketika rumah-rumah di sekitarnya memiliki tanaman hiasan dan bunga-bunga sebagai aksesoris halaman, rumah cokelat itu justeru hanya menyuguhkan pohon mangga yang tidak terlalu tinggi di sudut halaman, selebihnya tidak ada apa-apa. Hanya kerikil yang tersusun rapi sebagai sambutan kala berkunjung. Tidak terlalu buruk, kan?

"Ra, kita nggak turun? Agak aneh kalo markir lama-lama di sini." Ezra menyita perhatian si gadis. "Orang-orang mulai ngeliatin kita. Turun, yuk."

Ezra yang lebih dulu turun membantu Ciara yang sejujurnya bisa turun sendiri. Laki-laki muda itu serta-merta membantu melepas helm dan merapikan anak rambut yang berantakan. Ciara memukul kecil lengan Ezra tanda protes, tapi tidak keberatan. Dia suka setiap tindakan kecil Ezra.

Sedang Ezra hanya tersenyum. Namanya juga lagi usaha.

Begitu tungkai mereka melangkah memasuki halaman dan menginjak ratusan kerikil hingga melahirkan bunyi-bunyi yang cukup menenangkan, sebuah suara menyita perhatian keduanya.

"Cari siapa, Mas?"

Ezra maju ke hadapan. "Siang, Pak. Nama saya Ezra dan ini temen saya namanya Ciara. Kita mau nyari Nita, kita temen satu sekolahnya."

"Oh, Mbak Nita, ya?" Pria paruh baya berpakaian santai itu nampak melirik-lirik ke dalam rumah lewat tirai jendela yang sedikit tersingkap. "Kayaknya Mbak Nita-nya ada di rumah, Mas. Soalnya tadi malem saya liat dia pulang dan belum keluar dari tadi pagi."

"Maaf, Pak, dengan bapak siapa kalau boleh tahu?" Ciara ikut melangkah maju menyejajarkan posisi dengan Ezra, tatapannya tertuju ke arah bapak-bapak di depannya. Tanpa mengurangi hormat, gadis itu bertanya demikian.

"Oh, saya Hadi, ketua keamanan di sini, Mbak."

Ciara mengangguk mengerti. "Pak Hadi tahu nggak sebelumnya Nita pulang sama siapa? Saya agak khawatir karena dia nggak ngasih kabar apa-apa seminggu belakangan, Pak."

"Tadi malam yang saya lihat mah dia pulang sendirian sampe rumah, nggak tahu barangkali Mbak Nita-nya diantar sampe depan gang," ujar Bapak itu dengan intonasi yang lebih hati-hati. Menarik rasa ingin tahu Ezra.

"Bapak pernah lihat Nita diantar sampe depan gang, Pak?" tanya Ezra melepas pertanyaan dalam kepala. Lantas laki-laki itu dibuat sedikit terkejut saat Pak Hadi menganggukkan kepala.

"Mbak Nita emang selalu diantar sampe depan gang, Mas. Saya dan warga sekitar sering lihat. Nggak sekali-dua kali." Kali ini nadanya semakin merendah. Terkesan amat hati-hati. "Maklum, Mas, Mbak Nita kayak gitu karna dia selalu sendirian."

"Oh, ya? Bukannya Nita punya kakak perempuan, ya, Pak? Soalnya setahu saya dia punya kakak, satu sekolahan sama kita juga." Pernyataan Ciara kini ikut serta menarik perhatian Ezra. Pasalnya dia sendiri tidak tahu jika Nita punya kakak.

"Kalo itu saya kurang tahu, Mbak. Mbak Nita nggak pernah bawa pulang siapapun kecuali anak laki-laki yang emang sering main ke sini."

"Bapak tahu, nggak, siapa kira-kira anak itu?"

"Dia adiknya Mbak Nita, sering ke sini buat mantau-mantau kondisi kakaknya, Mbak."

Pamitnya Pak Hadi lantas melahirkan banyak tanda tanya di kepala, keduanya saling tatap seolah menyiratkan ketidakpahaman masing-masing. Ciara memutuskan pandangan dengan melempar fokus pada jendela yang tirainya tersingkap. Di dalam terlihat agak gelap. "Kita masuk, nggak?"

"Tujuan ke sini memang untuk itu, kan?"

Ciara berdecak jadinya. "Kalo ditanya 'tuh dijawab, Ezra, jangan malah nanya balik."

"Iya, Cantik, iya. Kita masuk."

Jemari kecil Ciara bergerak meraih milik Ezra, menggenggam agak erat mencoba meyakinkan dirinya sendiri untuk situasi ini. Dia tidak akan pernah tahu ada apa di dalam sana jika mereka tidak masuk. Lantas saat keduanya sudah berdiri di depan pintu utama, Ciara mulai mengetuk sembari memanggil Nita. Hening, tidak ada jawaban. Sekali lagi pintu diketuk tak lupa dengan panggilan untuk Nita. Masih sama. Tidak ada jawaban.

Di saat seperti inilah rasa khawatir datang menyambari tanpa diminta. Pegangan pada jemari Ezra semakin erat. "Zra, Pak Hadi tadi bilang Nita belum keluar dari pagi, kan?"

Ezra mengangguk kecil. Tangannya yang bebas bergerak secara naluri, meraih knop pintu dan menekan tuasnya hingga keduanya dibuat terkejut saat mendapati pintu yang ternyata tidak terkunci. Sekali lagi Ciara melemparkan tatapan terkejut berlapis cemasnya.

"Kita masuk," ajak Ezra.

***

Ey-yo!
Aku udah bacain komen kalian, hehe.
Big thanks buat perhatiannya, aku terharu tauk.
Tapi maaf, karna nggak bisa balesin satu-satu, ya?
Siap nungguin next part?

With love,
Christina H♡

SIBLING'SWhere stories live. Discover now