90. Sekarat

658 85 16
                                    

Nita, gue bakal nolongin lo, Ezra lagi nyari bantuan. B-bertahan sebentar lagi, ya? Gue temenin lo.
-Ciara

•••

Sesuai dugaan, situasi di dalam memang gelap, tapi barang-barang terlihat tertata rapi. Saat keduanya menapak untuk kali pertama, sebuah lukisan besar menyambut keduanya. Lukisan yang terkesan asal, tapi Ciara tahu jelas bahwa itu bukan sekedar coretan tinta. Ada makna yang terselip apik di balik coretan itu, sayangnya, Ciara tidak tahu.

Beralih pada televisi usang yang juga terlihat seperti tidak terpakai, ada meja persegi dengan dua kursi juga di dapur; yang mereka yakini meja makan dengan tambahan sebuah lilin di atasnya turut membuat keduanya semakin penasaran. Kenapa ada lilin?

Ada keraguan di hati Ciara saat menyadari dirinya tengah mendobrak privasi temannya seperti ini. Jelas bahwa memasuki rumah orang tanpa persetujuan sang pemilik merupakan tindakan yang kurang baik. Namun, fakta bahwa Nita tidak pernah menghubunginya setelah insiden waktu itu membuatnya khawatir. Ditambah Gava melihat Nita berjalan sendirian tadi malam. Agaknya itu semua cukup untuk meyakinkan Ciara bahwa tindakan mereka kali ini tidak terlalu buruk. Toh, Pak Hadi juga sudah mempersilakan mereka.

Ezra bergerak ke arah dapur, sedangkan Ciara mencoba menghubungi Nita sekali lagi dengan meletakkan harapan bahwa panggilannya kali ini terjawab. Alangkah terkejutnya si gadis saat mendengar sebuah suara getaran ponsel dari ruangan di depannya. Jantungnya bertalu saking terkejutnya, dia bahkan merasa sedikit pusing.

Ciara dibuat tidak mengerti, sejak memasuki rumah ini, aura yang disuguhkan lebih mencekam daripada yang terlihat dari luar. Rumah gelap ini seolah menyimpan kisah yang jauh dari kata baik. Hal itu membuat Ciara semakin tidak nyaman. Menepis semua dugaan dalam kepala, Ciara memutuskan masuk ke dalam ruangan yang diyakini adalah kamar. Lagi-lagi ruangan itu tidak terkunci.

Setelah merapalkan kalimat penenang, tungkainya dia bawa masuk. Suhu dingin dengan bau aneh mulai menyeruak ke rongga hidung. Ruangan ini juga ternyata lebih gelap dari ruang tengah, Ciara mengambil satu langkah lebih dalam dan mendapati seberkas cahaya tipis di atas nakas. Itu ponsel milik Nita, diletakkan telungkup oleh sang pemilik hingga cahaya dari benda itu tidak mampu menerangi ruangan.

"Padahal ini siang," gumam Ciara amat halus. Keanehan kembali diperhadapkan padanya kala melihat tirai tebal menutupi seluruh jendela, juga sebuah karton tebal menutup ventilasi. Itulah alasan kenapa ruangan ini begitu gelap dan pengap. Lantas tanpa berpikir dua kali, Ciara menyalakan senter ponsel guna mencari sakelar.

Tepat ketika sakelar ditemukan dan ruangan kini diterangi oleh lampu, Ciara sekali lagi dibuat bingung karena tidak ada apa-apa di dalam sini kecuali sebuah handuk yang tergeletak di lantai. Selebihnya tertata rapi, pun kasur nampak masih rapi seolah tidak pernah Nita tempati.

"Nita? Lo di sini?" Demi rasa khawatir yang kian merundungi, Ciara memberanikan diri mengetuk sebuah pintu di sebelah lemari. Itu mungkin kamar mandi. Lantas ketika Ciara sudah meraih gagang pintu, suara Ezra yang berteriak memanggil membuatnya terkejut. Ciara sedikit berlari dari kamar dan menghampiri Ezra.

Ruangan dapur lebih terang dari kamar tadi, tapi jelas dapur ini sangat kacau. Beberapa alat makan berserakan di wastafel, pisau tergolek begitu saja di lantai, juga beberapa pecahan kaca di sana. Namun, bukan itu yang membuat Ciara mual bukan main, melainkan tubuh nyaris telanjang yang tergeletak di sudut ruangan dengan darah genangan darah kecil di lantai.

Pekikan di pagi itu tidak terhindari, Ciara memekik keras kala mendapati temannya terkapar tak berdaya dengan keadaan sedemikian kacau. Di tengah keterpakuannya, Ezra berlari dengan sebuah kain dan menutupi tubuh Nita setelah membalut asal luka yang ada di pergelangan tangan gadis itu. Mencoba menghentikan pendarahan. Lantas membawanya ke ruang kamar yang sebelumnya Ciara masuki.

Baik Ezra maupun Ciara tidak pernah membayangkan akan mendapati pemandangan semacam ini. Tak ayal jika keduanya diserang panik sekaligus takut kala mendapati seorang yang mereka kenal dalam keadaan diujung maut. Tangisan keras Ciara juga tahu-tahu menambah kepanikan Ezra. Ingin rasanya dia memeluk Ciara guna menenangkan gadis itu, tapi ini bukan waktu yang tepat. Dia harus menolong Nita terlebih dahulu.

"Denyut nadinya masih ada," ujar Ezra. Tatapannya kini beralih pada Ciara. "Ra, tolong jagain, aku mau cari bantuan."

Ciara hanya bisa mengangguk di tengah tangisannya. Tungkainya seolah kehilangan tulang, tapi sebisa mungkin Ciara mendekati kasur dan duduk di sisi Nita sembari merapalkan bermacam doa keselamatan bagi temannya. Wajah pasi Nita semakin menambah tangisnya. Ada lebam di sudut bibir dan kening gadis itu. Namun, lingkaran merah pada perpotongan leher itu tahu-tahu membuat Ciara semakin syok.

"EZRA!" Tidak ada yang bisa dilakukan selain berteriak. Katakan dia tidak berguna, terserah. "Nita, please, sadar ... gue di sini, Nit. Gue bakal nolongin lo, Ezra lagi nyari bantuan. B-bertahan sebentar lagi, ya? Gue temenin lo."

Menyadari bahwa Nita masih dalam keadaan telanjang membuat kedua tungkainya bergerak spontan ke arah lemari, hendak mencari baju yang layak untuk dipakai. Setelah menemukan kaos kebesaran dengan celana tidur panjang, Ciara mendekati Nita lagi, lantas memasangkan dua potong kain itu pada tubuh Nita. Sebentar lagi bantuan akan datang, Nita tidak boleh ditemukan dalam keadaan telanjang.

Hingga tanpa perlu menunggu lebih lama, Ezra datang dengan warga sekitar dan juga ... Jonathan?

***

Tangis mulai mereda. Namun, pelukannya pada tubuh Jonathan belum mengurai sedikit pun. Ketiganya masih ada di sana, sepakat pulang setelah Ciara merasa lebih tenang. Jonathan tidak berhenti menghela napas. Rasa bersalah masih menyambagi hatinya kala mendapati adiknya tengah satu ruangan dengan seorang yang putus asa. Usapan sarat penenang masih laki-laki itu salurkan, kecupan-kecupan kecil sebagai pelengkap tidak lupa dia berikan. Ciara lebih mudah tenang saat diperlakukan seperti ini.

"Kita pulang?" tanya Jonathan pelan menyita perhatian Ezra yang masih mengamati rumah itu. "Lo boleh pulang, Zra, biar gue yang bawa Ciara balik."

Ezra menggeleng kecil. "Kita ke rumah sama-sama."

"Oke."

Ketiganya keluar dari sana dengan segala macam perasaan yang tak mampu diucapkan. Setelah menyampirkan jaket pada tubuh Ciara, Jonathan kemudian memasangkan helm dari Ezra, sebelum akhirnya keduanya berlalu dari sana diekori Ezra dari belakang. Namun, tanpa mereka sadari Jonathan mengeraskan rahang kala melihat sebuah mobil melintas dari arah berlawanan. Jonathan mengumpat dalam diamnya. Namun, mengamuk dan menghajar orang itu bukan kuasanya.

Nita hanyalah teman sekolahnya, mereka bahkan tidak dekat. Namun, sebagai teman sekolah yang mengerti keadaan Nita, ingin rasanya Jonathan mengerahkan semua tenaganya untuk satu bogeman keras di rahang orang itu. Dia juga laki-laki, pun punya adik perempuan. Rasanya sangat sakit saat mengetahui penyebab dibalik percobaan bunuh diri Nita didalangi oleh abang dari gadis itu.

Jonathan masih tidak bisa membayangkan iblis jenis apa yang bersemayam dalam diri laki-laki yang menyandang abang itu. Bukankah tugas seorang abang adalah menjanjikan kehidupan yang baik bagi adiknya terlepas dari sekelam apa masa lalu yang melatarbelakangi?

Melindungi seorang adik adalah kewajiban yang tidak tertulis di dunia ini. Bukan begitu?

***

Hey, hey, hey!
Terima kasih buat yang setia nungguin, em?
Big thanks
Tetap tungguin, ya?
Muaachh

Oh, ya, mau tanya dong.
Ada yang inget nama kakaknya Ezra nggak? Dia punya 2orang kakak, ada yang inget kedua namanya?
Aku lupa pernah nyebut di part mana.
Seandainya ada yang inget, boleh lah di spill:3

With love,
Christina H♡

SIBLING'SWhere stories live. Discover now