92. Dia di sini.

479 78 11
                                    

Ini Rumah Sakit, bukan rumah. Lo kata bisa masuk ruangan pasien sembarangan, gitu?
-Jonathan

•••

Tanda-tanda Andi akan keluar dari kamar si bungsu belum terendus oleh Jonathan dan Gava. Kedua laki-laki itu tidak berani masuk, jangan tanya kenapa. Saudaranya yang di dalam itu adalah satu-satunya yang bisa mengontrol Ciara, sekaligus satu-satunya saudara yang tidak bisa dikontrol oleh orang lain.

Oleh sebab itu, Jonathan dan Gava memutuskan untuk bergerak ke sana-ke mari bak setrika yang tengah bertugas dalam merapikan permukaan kain. Mencoba mencari cara paling masuk akal agar mereka bisa mengetahui apa yang terjadi di dalam sana.

Berbeda dengan Jonathan yang kini tengah menggigit kukunya tanda sedang berpikir keras sembari tetap mondar-mandir, Gava justeru menghentikan aksinya dan menatap Jonathan lurus.

"Nggak ada pilihan lain." Begitu katanya hingga membuat Jonathan mengangkat wajah demi menatapnya. "Kita harus ketuk atau kepo setengah mampus kayak gini."

Jonathan mengangguk sepaham dengan abangnya. Itu jugalah yang dia pikirkan beberapa detik yang lalu sembari menggigit kuku. Dia tidak menyangka jika mereka memiliki pemikiran yang sama.

"Gih, Bang."

"Apaan?"

"Mau ngetuk pintu 'kan kata lo?"

Gava lantas dibuat mengumpat kecil. "Lo nyuruh gue?"

Yang ditanya balas menatap bingung. Ya, iyalah!
"Emangnya ada siapa lagi selain lo? Nggak ada, kan?"

"Wah, Sialan. Enteng banget 'tuh congor kalo ngomong. Sebagai adek, lo nggak punya wewenang apapun, ya, buat ngatur-ngatur gue."

Si yang lebih muda jadi dibuat lebih tidak paham. Memangnya siapa yang ngatur-ngatur? Dia hanya mempersilakan abangnya melakukan apa yang baru saja dia katakan. Gava sendiri 'kan yang bilang jika mereka harus mengetuk pintu?

"Yang ngatur-ngatur lo, siapa?" tanyanya yang lantas membuat Gava tak habis pikir.

"Udah-udah. Cukup." Gava terlihat lelah, kedua tangannya terangkat tanda menghentikan situasi yang mungkin saja akan lebih keruh. "Sekarang, sebagai Abang, gue perintah lo buat ngetuk pintu."

"Dih?"

"Kenapa lagi?"

"Kok gue?"

"Ya, terus?"

"Yang ngasih usul 'kan elo, Bang. Kok malah jadi gue yang gerak?"

"Banyak bacot lo, ya. Tinggal ketuk pintu, doang."

"Ya, kalo tinggal ketuk, doang, kenapa nggak lo aja yang ngetuk? Ribet banget jadi lakik."

Tidak ada yang berani, itu inti masalahnya. Ucapan Jonathan berhasil menghentikan Gava yang sedang mencoba menugaskan adiknya ke medan perang. Keduanya tidak berani, tapi sama-sama perlu tahu apa yang terjadi. Hingga setelah debat kecil yang tidak bermutu itu, keduanya dikejutkan dengan datangnya Kashi ke tengah-tengah mereka.

"Lagi pada ngapain?" tanyanya dingin tanpa menatap Gava yang tahu-tahu sudah menjatuhkan pandangan terhadapnya.

"Oh? Itu. Nungguin Ciara." Diam-diam Jonathan mengumpat sebab caranya menjawab membuat Kashi menaikkan sebelah alisnya seolah tengah mengolok dirinya.

"Kenapa nggak masuk aja? Biasanya juga tinggal masuk, kan?" Si gadis tetangga nampak terlalu ingin tahu.

"Kepo sifat setan." Gava membalas sekenanya. Yang justeru membuat dua insan berbeda usia itu mendelik ke arahnya.

SIBLING'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang