88. Gava dan Sayangnya

547 90 21
                                    

Kalo lo ngajak gue, yang ada kita malah bakalan keliling nggak tentu arah. Parahnya bisa jadi kesasar. Kebayang nggak, sih, Dek?
-Gava

•••

Jonathan pamit hang-out dengan ketiga temannya setelah selesai makan siang beberapa menit yang lalu. Agak sulit karena si bungsu meminta ikut. Ditambah Andi yang nampak mengawasinya lewat tatapan penuh selidik karena telah menolak si bungsu untuk turut serta, Jonathan jadi merasa agak ngeri. Alih-alih menghindari tatapan tak suka abangnya itu, Jonathan justeru balas menatap songong nan mengejek. Andi dibuat buang muka karena itu.

Itu jugalah alasan kenapa Andi memutuskan bermain dengan Sam di kamarnya saat ini. Lantas setelah mendapat ijin dari si sulung, Rama, Jonathan pergi setelah melayangkan kecupan kecil pada ubun-ubun saudarinya tak lupa menjanjikan akan membawa makanan. Ciara mengalah saja.

Gavin sedang tidur siang di depan televisi di dekat Ciara yang masih merajuk karena tidak diperbolehkan ikut dengan Jonathan. Gava yang tadi sedang telfonan dengan seseorang kini mendekatinya. Wajahnya agak kusut, tapi Ciara menyadari bagaimana tatapannya dibuat sebaik mungkin saat menghadapinya.

Datangnya Gava disambut dengan sepotong apel yang disergap dengan cepat olehnya. Ciara tersenyum melihatnya.

"Dek, lo tau, nggak? Itu, temen lo yang cakep itu gue liat jalan sendirian tadi malem."

Ciara spontan memusatkan pandangan pada Gava yang baru saja mendudukkan diri. Manik cokelat Gava balas menatapnya. Dapat Ciara rasakan bahwa ucapan abangnya kali ini serius.

"Seriusan, Bang?"

Gava mengangguk. "Asli, gue liat sendiri. Gue juga awalnya nggak yakin itu dia apa bukan, soalnya penampilannya beda banget sama yang terakhir kali gue liat, dia keliatan lebih kurus juga."

Potongan buah yang sudah melayang akan masuk ke mulutnya kembali diletakkan ke dalam piring kecilnya. Gadis itu bergegas menuju kamarnya, tempat di mana ponselnya berada. Meninggalkan Gava yang malah mencomot buah miliknya.

Meraih ponsel yang sedang diisi daya, Ciara mencari kontak gadis yang tengah berada dalam pikirannya. Ciara baru menyadari bahwa beberapa hari belakangan dia tidak mendengar kabar tentang temannya itu, bahkan pesan pun tidak pernah Ciara kirimkan, pun hal yang sama dilakukan Nita. Ciara dibuat cemas saat ini.

Decakan kecil terdengar kala suara wanita melaporkan jika nomor yang sedang dituju tidak dapat dihubungi. Ciara kembali mendial nomor yang sama, tapi suara wanita itu masih saja melaporkan hal yang sama.

"Ezra." Nama seseorang seketika muncul. Tanpa pikir panjang, Ciara menghubungi nomor Ezra, tidak perlu menunggu lama sebab Ezra memang tidak sesulit itu untuk dihubungi. "Zra, lo tahu rumahnya Nita, kan? Temenin gue ke sana, dong."

Untuk semua hal tentang Ciara, Ezra tidak pernah bertanya 'kenapa' pada gadis itu jika Ciara sedang mengajaknya bepergian berdua, meski pada dasarnya dia ingin tahu. Dengan dihubungi dan diajak seperti ini sudah membuat Ezra merasa bahagia. Mungkin hubungan mereka terasa abu-abu, tidak ada kemajuan yang signifikan, tapi Ezra percaya jika Ciara hanya terlalu gengsi. Lantas Ezra hanya perlu bersabar dan membiarkan gadis Rajendra itu menerimanya perlahan.

"Boleh. Aku jalan 10 menit lagi."

"Gue tunggu, agak cepet, ya, Zra? Tapi inget, tetep hati-hati di jalanan. Bahaya tau."

Selaras dengan putusnya sambungan telepon, Ciara bergerak memilih baju yang agaknya pas untuk dipakai di luar rumah. Mengganti kaosnya dengan kemeja biru terang polos yang dipadukan dengan celana jeans hitam, itu cukup untuk melindung penampilannya.

SIBLING'SWhere stories live. Discover now