EXTRA CHAPTER: ONE

106 15 37
                                    

  - Hari terakhir di kelas sepuluh

  Kamu tahu apa yang lebih menyiksa dari sebuah rindu? 

 Buatku, ketika kamu bisa melihatnya, ketika kamu berhasil punya banyak kenangan dekat dengannya. Tapi, sekarang, kamu dan dia nggak lebih dari dua orang yang cuma tahu nama. 

 Kamu pasti tahu aku sedang bicarain siapa. Karena, aku cuma punya satu tokoh yan paling merepotkan untuk isi hatiku di dalam cerita ini, bukan begitu?

"San!"

 Oh tidak, jadi ada dua..... Jika yang satu merepotkan karena perasaannya sudah untuk orang lain yang bukan aku.. Maka, yang ini merepotkan karena..

"Udah makan? lo harus makan San... Kalau bukan buat diri lo, seenggaknya buat gue."

 Karena aku tidak tahu perasaannya ini nyata atau tidak, perhatiannya ini tulus atau kasihan, dia ini... akan jadi luka baru atau justru obatnya. Aku tidak tahu jawabannya karena aku tidak pernah ingin mencari tahu. Aku takut, takut kalau luka yang sekarang belum sembuh, akan melebar dan bertambah sakit.

 Dan dia cukup merepotkan untuk ruang hatiku yang sempit ini.

"San, kok bengong?"

 Aku menoleh, memberinya senyum simpul.

" Maaf, tapi gue udah pernah bilang kalau gue butuh waktu Aksa... Gue belom bisa nerima lo, sekalipun lo berdalih hanya ingin berteman sama gue..."

 Aku menghela napas, lelah dan tidak tahu harus mengatakan apa lagi untuk mencegahnya memasuki duniaku.

Tatapannya melembut, ia menghadapku sepenuhnya, memberikan seluruh fokusnya padaku. Kumohon jangan lakukan ini Tuhan...

"San, luka itu disembuhin, bukan di diemin. Jangan terus narik diri San..."

 Aku mengalihkan pandanganku, kemanapun asal bukan wajahnya. Entahlah, aku hanya merasa bersalah dan lelah disaat yang bersamaan. Menurutku, ini tidak benar.... Tidak seharusnya Aksa menghabiskan waktunya hanya untuk membantuku menyembuhkan luka yang penyebabnya bahkan bukan dia. 

Masih enggan menatap matanya, aku berucap, "Akan gue sembuhin ko Sa... Dan, untuk itu gue butuh waktu untuk sendiri..."

 Hembusan napas yang baru saja ia loloskan terasa begitu menyakitkan, entah bagaimana, tapi.. ini bukan lagi tentang Aksara yang menyebalkan. Dan aku lebih membencinya saat ia terlihat begitu peduli kepadaku.

"Satu bulan, selama libur kenaikan kelas."

 Aku menoleh kearahnya, meminta penjelasan lebih lanjut dari kalimatnya, yang mungkin sudah kumengerti, tapi tidak mau kuterima, tidak akan kubiarkan dia menungguku, karena hasilnya cuma luka.

"Lo bisa habisin waktu liburan lo sendirian, gue nggak akan ganggu San. Tapi, kalau sewaktu liburan lo butuh teman, lo bisa hubungin gue, kapanpun..."

 Nafasku tercekat, otakku mendadak blank seketika saat Aksara menepuk pelan puncak kepalaku kemudian berlalu begitu saja, meninggalkanku yang masi diam mematung di depan kelas.

 Tidak Aksara, jangan menungguku, jangan bertahan untukku, jangan jatuh bersamaku. Karena, aku tidak tahu, kapan aku mampu bangkit dan kembali menerima orang baru.

  Perlahan, aku melirik ke dalam kelas lewat celah jendela yang terbuka. Semua terlihat sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, kuharap tidak ada yang melihat atau mendengar apapun. Namun, pandanganku terkunci begitu saja saat celah jendela tersebut terbuka semakin lebar. Untuk beberapa saat, aku hampir lupa caranya bernapas. 

 Tatapan matanya masih mampu membiusku begitu saja, pandangan kami terkunci, dan kami memilih diam. Matanya tajam, namun bibirnya masih saja membisu. Tidak bertahan lama, hingga seseorang di belakangnya tiba-tiba saja menyerukan namanya. Ia mengalihkan pandangannya dariku. Ya, dia memang tidak pernah  berhenti untukku.

AWAS JATUH, SAN! (√)Where stories live. Discover now