b a g i a n t i g a p u l u h e m p at

80 17 30
                                    

"Kenapa sih kamu? Bengong aja daritadi."

Aku memejamkan mataku, menggeleng pelan.

"San, ih, kenapa sih?"

"Nggak apa-apa Dina."

"Bohong ih."

Aku kembali membuka mataku, perlahan aku menoleh kepada Dina yang menatapku sebal. Aku melemparkan senyum kepadanya, membuatnya terlihat seratus kali lebih sebal.

"Kamu nggak cocok jadi orang yang pura-pura baik-baik aja."

"Aku emang baik-baik aja," Kataku mengelak tuduhannya.

Dina memajukan bibir bawahnya, tangannya sudah bersiap menjambakku tapi segera kutepis.

Mataku menjelajahi keadaan cafe tempat kami berada. Siang ini cafe Temaram begitu sepi, padahal hari minggu, biasanya kalau hari libur seperti ini, cafe akan ramai didatangi muda-mudi seperti aku dan Dina.

"Sejak jum'at. Iya, kamu aneh sejak hari itu."

Aku menoleh kembali ke arah Dina, ia memutar bola matanya. Sudah tiga hari ini ia terus memaksaku bercerita tentang sebenarnya ada apa, karena jujur saja aku memang sedikit lebih banyak diam dari biasanya. Lalu di rumah, aku terlalu banyak berpikir, entah tentang apa, kepalaku rasanya penuh dan ingin meledak.

"Kamu kaya orang tua yang banyak pikiran tahu nggak?!"

Iya Din, aku memang banyak pikiran. Padahal aku nggak mau mikirin hal itu. Aku pikir, aku sudah cukup jaga jarak belum ya dari Leo semenjak hari itu? Apakah aku jadi antagonis lagi sekarang? Lalu, Senja sama Leo sudah sejauh apa ya sekarang? Aku selalu berpikir, terlalu banyak pertanyaan yang nggak bisa aku jawab sendirian. Dan pertanyaan paling sulit untuk dijawab adalah, Apa aku sanggup melepas Leo begitu saja untuk Senja?

"San."

Aku mengerjap sadar, memberikan senyum lagi kepada Dina.

"Aku sudah pernah bilang kan? Aku akan bantu kamu bangun kalau kamu sudah jatuh dan sakit terlalu banyak?"

Aku tertegun mendengarnya, mataku menyendu, aku hampir saja menumpahkan semuanya. Aku meraih gelas kopiku, meminumnya perlahan.

"Din."

Aku menatap Dina yang tersenyum meyakinkan, tangannya meraih telapak tanganku, seperti menyalurkan energi untukku.

"Senja suka Leo. Kurasa.. Mungkin mereka memang benar-benar ditulis buat bersama?"

Dina menghela napas perlahan, kembali tersenyum.

"San... Pertama-tama, kamu nggak salah di sini, kamu nggak antagonis, itu yang paling penting," Katanya, seperti bisa membaca kekhawatiranku.

"Aku nggak bahas soal itu."

"Tapi itu yang selalu kamu pikirin, kamu selalu nyalahin diri kamu sendiri dan memilih jaga jarak karena ngejaga perasaan orang lain."

"Tapi ini sama aja Din, Senja suka Leo, dia tahu aku sama Leo dekat, berarti, aku udah nyakitin Senja juga kan kalau terus dekat?"

"Terus gimana sama perasaan kamu sendiri San? Kamu nggak ngerasa antagonis sama diri sendiri?"

"Aku udah nggak bisa bedain lagi Din, apa aku sebenernya suka atau cuma senang karena dekat sama Leo."

"Atau sebenarnya kamu terlalu peduli sama perasaan orang lain dan nggak bisa ngerti sama perasaan sendiri. Kamu terlalu takut ngakuin semuanya San."

Aku mengatupkan bibirku, kalimat Dina barusan menghantamku telak. Aku terdiam, tidak tahu harus bicara apa.

"Kamu tahu kalau pada akhirnya, semuanya bukan tergantung mau kamu, Senja, ataupun Leo, semuanya tergantung takdir yang udah ditulis buat kalian San.."

AWAS JATUH, SAN! (√)Where stories live. Discover now