b a g i a n s a t u

764 79 43
                                    

Kaki jenjangnya berlari, membawanya mendekati kerumunan yang terlihat menyesakkan. Jarak satu meter, otaknya memerintahkan kakinya untuk berhenti bergerak. Rambut sebahunya lepek, keringat membanjiri keningnya. Kulit khas nusantaranya terpapar sinar matahari yang cukup terik siang hari ini. Matanya melirik ke papan besar pada arah jarum jam pukul 9 dari tempatnya berdiri, kemudian beralih pada gerbang abu-abu yang terbuka dihadapannya, juga kerumunan yang kini memasuki gerbang itu. Ia menghela nafas, lantas ikut berjalan masuk ke gerbang itu juga, gerbang yang ternyata, bukan hanya menjadi kisah baru bagi hidupnya, tapi juga melanjutkan apa yang belum selesai pada kisah sebelumnya.

^°^
 

Dua minggu, dua minggu sudah aku menginjakkan kaki di SMA Trijaya, selama itu juga semuanya terasa semakin monoton. Maksudku, bukankah orang-orang bilang masa putih abu-abu adalah masa yang dinantikan semua orang, katanya ini adalah masa paling indah selama menjalani hidup. Tapi sampai sekarang, semua terasa sama saja. Aku rasanya hanya mengulang siklus hidupku di SMP dulu.

  Aku memandang siswa yang kini menggiring bola kearah gawang di lapangan futsal. Entah kenapa tiba-tiba saja tersenyum mengingat waktu MPLS beberapa minggu lalu. Dia, tidak tampan, tapi kata temanku dia manis. Tidak, aku tidak menyukainya, hanya jadi ingat beberapa percakapan dengannya saja. Atau beberapa pesannya yang pernah masuk kedalam whatsappku. Dia ketua kelompokku saat itu, kami bahkan tidak pernah bertemu sebelumnya, tapi ternyata takdir menuliskan aku bisa dengan mudah akrab dengannya.  Ya tentu saja semua itu terjadi karena dia memulai interaksi, karena kalau tidak, aku sendiri terlalu gengsi untuk mengajak lawan jenis bicara lebih dulu.

"Hoi, melamun aja!"

Tanpa menoleh juga aku tahu siapa yang baru saja mencoba mengangetkanku. Dia teman semejaku sekarang, karena kalau sebangku tidak muat, dan aku tidak mau juga.

"Gue nggak melamun tahu!" elakku.

"Halah, lihatin siapa sih?"

"Lihat Dina tuh, temen gue yang di IPS" aku tidak sepenuhnya berbohong, karena sahabatku memang tengah olahraga juga, karena sekali lagi, takdir menuliskan sahabatku harus sekelas dengan Saka, siswa yang tadi kubicarakan.

"Kalian mirip tahu, kaya kembar,"

"Sudah tidak terhitung yang bilang itu Nia.."

"Tapi emang mirip!"

  Aku menoleh, tersenyum jenaka, yang benar saja, aku dan Dina selalu dibilang memiliki wajah yang mirip, beberapa bahkan tidak percaya kalau kami hanya sahabatan, bukan saudara kandung, emangnya semirip itukah?

"Gue mau ke kantin, mau ikut San?"

  Aku menggeleng, membiarkannya beranjak pergi menuju kantin. San, teman-temanku biasa memanggil. Karena namaku memang hanya San Hai. Alasan yang cukup aneh menurutku kenapa orang tuaku memilihkan nama itu, karena katanya, saat aku lahir bertepatan dengan matahari yang baru saja terbit, jadi ibuku ingin menamaiku "Halo, matahari" namun dalam bahasa inggris, lalu kenapa "San Hai" dan bukan " Sun, Hi" karena ibuku tidak mau aku dipanggil-panggil Sun oleh teman-temanku nantinya, sebab aku bukan makanan bayi. Sedangkan tidak dituliskan Hi melainkan Hai karena ibuku tetap cinta Indonesia, jadi dia menulisnya dalam ejaan Bahasa Indonesia.

  Tapi, jangan coba-coba panggil aku San saja jika dirumah, karena bukan hanya aku yang akan menoleh, tapi juga adikku yang baru berumur 6 tahun, namanya Sanjaya Adiputera, itulah sebabnya, jika dirumah aku dipanggil kakak dan Sanjaya dipanggil adik. Kenapa nama adikku panjang? Entahlah, tapi Adiputera merupakan nama lengkap ayahku, beliau biasa dipanggil pak Adi oleh teman-temannya. Sedangkan nama ibuku adalah Sarah, jadi cukup masuk akal kenapa nama depan aku dan adikku juga harus berhuruf S, mungkin.

  Bel tanda berganti pelajaran berbunyi, itu artinya jam kosong kelasku sudah berakhir. Tidak, bukannya ada jam yang dikhususkan kosong, melainkan karena guru matematikaku yang berhalangan hadir dan tidak memberikan tugas, jadilah selama dua jam pelajaran pertama ini kami tidak belajar.

   Aku memilih masuk kelas, tidak sengaja pandanganku bertemu dengan Leo. Jangan tanya siapa dia, karena aku akan menjelaskannya sebelum ditanya, dia adalah salah satu yang dituliskan takdir juga. Aku bertemu dengannya pertama kali saat  MPLS juga, dia teman sekelompokku seperti Saka, mungkin dia teman Saka, mereka kelihatan dekat meski dari sekolah berbeda. Aku ingat sekali bahwa kami hanya pernah sekali berinteraksi waktu itu, tepatnya saat...

"Nama lo siapa?"

"San Hai, lo?"

"Leo,"

Ya, sekadar perkenalan diri masing-masing. Tidak lebih, dan tidak pernah terjadi apapun, sampai akhirnya kami kembali dipertemukan di kelas ini, entah untuk apa. Hanya takdir yang mengetahuinya.

  Aku segera melempar pandanganku ke bawah, berpura-pura mencari buku di dalam tas. Beruntung Nia sudah kembali dari kantin, disusul dengan masuknya guru Bahasa Indonesiaku. Tidak seharusnya aku salah tingkah hanya karena tidak sengaja bertatapan bukan? apalagi aku tahu dia hanya sebatas nama.

^°^

  Aku pulang agak sore hari ini, karena tadi harus mampir dulu ke SMP lamaku, maklum, aku cukup aktif dalam organisasi saat di SMP, jadi masih sering mampir untuk mengurus beberapa hal atau sekadar berkumpul dengan alumni dari organisasi tersebut. Aku pulang pergi bersama Dina, dia tidak keberatan, dia justru suka aku ajak kemana-mana, tidak apa, aku sayang Dina.

  Begitu masuk rumah, aku langsung dapat menemui Ibu tengah menonton televisi di ruang tamu, aku menghampirinya dan mencium tangannya.

"Dari Sentosa?" tanyanya menyebutkan nama SMP ku.

"Iya, ngasih beberapa laporan,"

"Ketemu dong?" godanya.

Aku hanya tertawa.

"Gimana-gimana?"

"Orang nggak ketemu!"

Ibu menampilkan wajah tidak percayanya, ya tuhan, apa wajahku kelihatan berbohong padahal sedang mengatakan hal yang jujur seperti ini?

"Yasudah mandi dulu sana" meski berkata begitu, Ibu justru menarik tanganku sampai aku jatuh terduduk dilantai, kemudian ia tertawa karena melihat wajah masamku, akan kubalas nanti, kalau sudah tidak memikirkan orang yang Ibu tanyakan, lihat saja.

  Aku hanya mengangguk kemudian pergi ke kamar. Jangan merasa aneh dengan tingkah Ibuku, kami memang seperti ini, sama-sama jahil, maklum Ibu harus menyeimbangi sikap Ayah yang irit bicara meski suka melawak, yang sudah pasti berujung garing tidak tertolong.

"Kakak! Ada apa dengan anak ketiga ku iniiiii!!!!"

  Aku menahan tawa, sudah pasti ibu mengetahui perbuatanku yang tidak sengaja menendang salah satu pot bunga kesayangannya itu sehingga ia kesal bukan main. Maaf bu, meski tidak sengaja sekarang skornya 1-1 bukan?

 

 
 

AWAS JATUH, SAN! (√)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant