b a g i a n t i g a p u l u h s e m b i l a n

157 19 51
                                    


"San, lo nggak mau tahu sesuatu?"

Aku meliriknya lewat ekor mataku, Aksara tampak begitu serius.

"Soal?"

"Lo nggak mau tahu kenapa gue gangguin lo terus padahal kita nggak kenal sebelumnya?"

Perlahan, aku menoleh ke arahnya, masih dengan ekspresi datar yang sama, menunggu kelanjutan ucapannya.

"Atau, lo nggak kepo kenapa Leo selalu kelihatan marah kalau lo dekat gue?"

Pertahananku hancur begitu saja, mataku menyendu, akupun memutuskan mendudukkan diriku di sebelah Aksara yang kini diam.

  Apa Aksara punya jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku?

"Lo, mau dengar cerita gue San?"

"Apa ini menjawab pertanyaan gue?"

"Lo nggak tahu sampai lo dengar semua kan?"

Pertanyaan Aksara membuatku bungkam. Tatapannya membuatku semakin bingung. Sebenarnya apa jawaban dari semua teka-teki Leo? Kenapa harus ada hubungannya dengan Aksara?

"Ini kesempatan pertama dan terakhir lo bisa ceritain ke gue."

Aksara tersenyum kecil, kemudian mengangguk.

"Gue nggak tahu seberapa banyak pertanyaan lo, tapi gue cuma mau kasih tahu lo sesuatu."

Aku diam saja, menunggunya bercerita. Matanya lurus kedepan, meski sesekali menoleh ke arahku, membuat aku mengetahui kalau Aksara sedang tidak bercanda seperti biasa.

"Gue sama Leo sepupuan."

Kalimat pertamanya berhasil membuatku terkejut, tapi aku tetap diam, menunggunya melanjutkan.

"Sejak kecil orang tua gue sering ngajak gue main ke rumah Leo, gue selalu disekolahin di sekolah yang sama kaya Leo."

Aksara membasahi bibir bawahnya, jari-jarinya bertaut. Aku hanya menatapnya, diam.

"Dan itu, semakin bikin perbedaan jelas antara gue dan dia."

Kini alisku bertaut, tidak mengerti, lebih tepatnya pertanyaan baru muncul dikepalaku, perbedaan apa? Tapi sepertinya, penjelasan Aksara selanjutnya akan menjawab pertanyaanku.

"Leo, Geraldi, mereka kelihatan sempurna di mata orang tua gue, itu yang bikin mereka mau gue nggak jauh-jauh dari mereka, dan itu yang bikin gue iri sama Leo, karena tanpa harus ngelakuin banyak hal dia bisa buat orang tua gue berdecak kagum."

Kali ini Aksara kembali menoleh, tatapan teduhnya membuatku semakim terdiam.

  Aku sadar satu hal. Bahwa ternyata, sebenarnya, semua orang hanya pellu bersyukur. Supaya mereka merasa cukup.

Leo selalu dituntut menjadi Geraldi, tanpa orang tuanya tahu bahwa ada orang lain yang iri dengan apa yang Leo bisa. Bahwa ternyata, setiap orang selalu kelihatan lebih baik di sudut pandang orang lain. Dan kita hanya perlu menerima dan bersyukur atas setiap yang diberikan Tuhan, bukan?

"Gue iri sama Leo, karena dia selalu punya semuanya. Gue iri, sampai gue selalu ingin dapat yang dia punya."

"Dan, hubungannya sama gue?"

"Gue kira, lo juga termasuk salah satu yang dia punya San."

Kali ini aku tidak bisa menutupi keterkejutanku, mataku membola sempurna, menatap Aksara bingung.

"Sejak dulu, apapun yang Leo punya, selalu berusaha gue ambil. Waktu SMP, gue belajar basket mati-matian supaya bisa ambil posisi dia jadi kapten. Gue udah banyak ngambil yang Leo punya, karena gue ngerasa dia punya segalanya."

Aksara menarik napas. Kini, dia menyandarkan punggungnya di kursi.

"Gue nggak pernah lihat dia punya orang yang spesial, dan waktu itu, saat gue nggak sengaja lihat isi chat kalian, saat gue nggak sengaja lihat Leo keliatan begitu bahagia dan saat gue tanya ternyata setelah ketemu lo, gue kira lo salah satu hal spesial buat dia, dan itu, bikin gue mau ambil lo juga, itu bikim gue semakin iri, San."

Aku sudah tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Semua kosakataku hilang. Aku lupa bagaimana caranya menggambarkan perasaan. Penjelasan Aksara barusan membuatku terlalu bingung...

Dan, kenapa seorang Aksara harus sebegitu irinya hanya karena hal kecil seperti isi chat ku dengan Leo? Itu bukan hal yang bisa mmebuat seseorang iri karena aku dan Leo bahkan bukan siapa-siapa. Lagipula, Aksara harusnya punya lebih banyak orang yang bisa membuatnya merasa spesial.

"Karena gue nggak pernah lihat dia bisa ketawa cuma karena lagi chatting sama seseorang, San. Gue kira lo cuma cewek biasa yang emang asik diajak chat, tapi ternyata, lo emang sespesial itu. Makanya waktu itu, gue coba deketin lo. Dan dia tahu maksud gue, dia sadar kenapa gue berusaha kenal lo, gue berusaha ambil lo dari dia, itu sebabnya Leo selalu berusaha jauhin lo dari gue, bahkan dengan cara yang lo nggak tahu."

"Tapi lo salah Aksara... Gue bukan siapa-siapa Leo.... Dan gue nggak spesial seperti yang lo bilang."

"Tadinya, saat dia semakin halangin gue, itu buat gue semakin yakin kalau lo sama dia ada apa-apa. Tapi, ternyata, pada akhirnya, Leo milih Senja, yang gue nggak pernah tahu kenapa bisa dia, yang, gue sendiri nggak bisa nemuin alasan dia."

"Terus, lo mau dekatin Senja? Jangan gila Aksara..."

"Lo salah San."

Aku bungkam, mataku yang beradu pandang dengannya tidak dapat menemukan apapun yang bisa membuktikannua berbohong. Tidak... Dia baru saja jujur semuanya kepadaku.

"Lo salah San. Gue, udah nemu alasan kenapa gue harus berhenti peduli sama pencapaian Leo, bahkan ternyata seorang Leo melepaskan seseorang yang baik. Gue udah nemu alasan, kenapa semua yang Leo punya nggak lagi penting, karena gue punya sesuatu yang bisa gue perjuangin, tanpa ngambil milik Leo...."

"Aksa..."

"Lo San. Ternyata, berusaha kenal dan deket lo, bikin gue sadar kalau gue nggak butuh posisi Leo, kalau ternyata posisi Leo bahkan bukan disamping lo, itu artinya nggak perlu jadi Leo buat ngerasa punya segalanya, tapi cukup dengan kenal lo, karena lo bisa bikin seseorang ngerasain segalanya San."

Tidak, aku tidak tahu ini benar atau tidak, aku tidak tahu keputusanku mendengarkan cerita Aksara benar atau tidak. Aku tidak tahu menjadi tahu itu benar atau tidak. Aku tidak tahu harus apa...
 
Dan Aksara. Dia telah salah menilaiku, aku bahkan tidak seperti itu, bahkan ini semua terlalu tidak mungkin untuk terjadji denganku.

"Awalnya, saat dengar dia sama Senja, gue bingung, kenapa dia harus lindungin lo dari gue kalau dia milih Senja?"

Itu juga pertanyaanku Aksara. Itu hal yang tidak pernah bisa kujawab. Karena semua alasannya hanya membuatku sadar kalau Senja tetaplah yang menang.

"Tapi sekarang gue tahu jawabannya San. Karena, lo memang pantas buat dilindungin, lo memang pantas buat dijaga supaya baik-baik aja. Lo porselen berharga San. Lo nggak boleh pecah.."

"Buat apa dijaga kalau pada akhirnya, meski nggak sengaja, porselen itu justru dia pecahin Aksara."

"Karena gue bisa benerin porselen itu walau nggak akan pernah kembali seperti semula San."

"San, gue nggak mau nyesel karena salah ngartiin perasaan gue, karena pada nyatanya... gue tahu ini apa.."

Aku mengepalkan tanganku kuat, tidak Aksara. Aku tidak siap dan tidak pernah siap. Tidak sekarang atau mungkin nanti. Tidak boleh seperti ini Aksara.

"Gue ternyata udah jatuh ke lo San, dan itu bukan rencana gue sama sekali sejak awal."

Aksara tersenyum hangat, kemudian berdiri dari duduknya. Ia menepuk puncak kepalaku beberapa kali sebelum berlalu dari sana.

Aku terdiam, memegang dadaku, rasanya aku seperti baru saja diberi kabar tentang sesuatu yang sangat mengejutkan... Dan tidak dapat kuterima.

Semakin sakit saat tahu tentang Leo lebih jauh. Lebih sakit karena tahu tentang ini semua tidak mengubah keputusannya yang memilih Senja. Dan tidak akan pernah.

AWAS JATUH, SAN! (√)Where stories live. Discover now