27. The Surprise

93 7 4
                                    

Tubuhku menegang sesaat setelah mencerna informasi dari Bunda. "A--pa? Papinya Freddy ... meninggal?"

Bunda mengiyakan di seberang telepon. "Kamu di mana sekarang?" tanya Bunda.

"Aku ... di Soetta," jawabku berbohong.

"Kalau gitu, kamu langsung ke rumah Pak Raymond, kita ketemu di sana, ya," pinta Bunda.

"Iya, Bun." Setelah itu, Bunda menyudahi teleponnya.

Aku terdiam cukup lama sampai Ilham memanggilku. "... Nan... Kinan?"

"Ya? Iya, ada apa?" tanyaku linglung.

"Ada masalah?" Raut wajahnya terlihat khawatir.

Aku kembali terdiam sebelum menjawabnya. "Papinya Freddy ... meninggal."

Ilham berkedip sekali dan berkata, "Aku turut berduka cita."

"Aku harus pulang. Sekarang!" kataku lebih kepada diri sendiri.

"Biar kuantar." Ilham menawarkan diri.

Aku menggeleng cepat. "Tidak perlu, aku tidak pulang ke rumah, tapi langsung ke rumah Freddy. Dia pasti sangat sedih sekarang, aku harus berada di sampingnya saat ini."

Ilham terdiam, ekspresi wajahnya tidak terbaca. Aku jadi tidak tahu apa yang dipikirkannya, tapi aku sama sekali tidak peduli. Dalam pikiranku, Freddy pasti sangat berduka dan aku harus ada di sana secepatnya, di rumah Freddy, di sisinya.

Aku melihat pada Ilham yang masih terdiam. "Ilham, terima kasih banyak untuk bantuan dan perhatianmu beberapa hari ini. Aku ... benar-benar berterima kasih. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu, tapi aku janji, suatu saat akan kubalas."

Ilham tersenyum. "Tidak perlu. Aku cukup senang bisa membantumu hingga saat ini. Hanya saja, aku cukup menyesal karena cincinmu belum juga ditemukan."

Giliran aku yang terdiam. Benar juga, cincinku belum ketemu sampai sekarang. Bagaimana kalau di rumah Freddy nanti ada om atau tantenya yang sadar dan menanyakan kenapa aku tidak memakainya?

Aku segera menepis pikiran itu. Tidak mungkin. Dalam kondisi seperti ini, semua orang sedang berduka. Tidak akan ada yang menyadarinya, aku yakin itu.

"Tidak apa-apa. Setelah ini, aku akan kembali mencarinya sendiri. Sekali lagi terima kasih banyak, Ham," ucapku sambil tersenyum padanya.

Aku beranjak dari kursi seraya menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan Ilham. "Kalau gitu, aku pergi sekarang. Sampai jumpa."

Ilham menatapku sebentar, lalu menyambut uluran tanganku. "Iya, sampai jumpa."

Aku pergi dari hadapan Ilham tanpa menoleh lagi dan tidak menyadari tatapan Ilham mengikutiku hingga aku hilang dari pandangannya.

Proses check out tidak membutuhkan waktu lama karena suasana front desk hotel masih sepi. Aku segera menarik koperku dan masuk ke taksi online yang sebelumnya sudah kupesan lewat aplikasi.

"Tolong cepat ya, Pak," pintaku sesaat setelah duduk di kursi penumpang belakang.

"Baik, Bu."

Selama perjalanan, perasaanku tidak tenang sama sekali. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa, aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Apakah ini sebuah firasat atau hanya perasaan sensitifku saja karena kabar duka yang kudapat mendadak?

Setelah berjibaku selama satu setengah jam dengan kemacetan Jakarta di pagi hari, akhirnya aku sampai di perumahan Kemang. Aku meminta pada sopir taksi untuk berhenti beberapa meter dari rumah Freddy. Kulihat banyak mobil terparkir berderet di depan rumahnya. Beberapa papan bunga ucapan belasungkawa juga tersusun di bagian luar pagar.

Pak sopir berhenti di belakang salah satu mobil yang terparkir dan kutebak adalah milik saudara atau tamu dari keluarga Freddy.

"Terima kasih ya, Pak," ucapku setelah keluar dari taksi.

Aku berjalan sambil menarik koper ke arah rumah besar milik Pak Raymond. Debaran jantungku kian cepat sejalan dengan semakin dekatnya jarakku dengan rumah itu. Kudengar suara-suara mengucapkan belasungkawa dari orang-orang yang datang. Saat aku sampai di depan pagar, beberapa orang menoleh padaku.

"Kinan?!" tanya seorang wanita paruh baya yang terlihat terkejut melihatku.

Dari wajahnya yang agak mirip Freddy, kutebak wanita itu salah satu tantenya. Aku baru sadar, ternyata aku tidak mengenal dekat orang-orang yang sedarah dengan Freddy.

Wanita paruh baya itu mendekatiku. "Baru sampai, ya. Ayo, masuk dulu."

Aku hanya mampu mengangguk dan mengikuti wanita itu ke dalam rumah sambil merasakan kecanggungan dan keasingan yang tidak nyaman.

Saat masuk rumah, pemandangan pertama yang kulihat adalah tubuh kaku Pak Raymond berbalutkan kain batik dengan kedua lubang hidungnya telah dimasukkan kapas. Melihat itu, aku tak kuasa menahan air mata. Aku segera mengusap kedua mataku dengan punggung tangan. Aku harus menemukan Freddy dan tidak akan bisa kulakukan jika mataku penuh air mata.

Pandanganku berkeliling. Melihat satu demi satu orang-orang yang ada di dalam ruang tamu besar itu, tapi tidak kutemukan keberadaan Freddy. Di mana dia saat ini?

Pertanyaanku terjawab tepat saat kepalaku menoleh ke lorong rumah yang kutebak menuju ke arah ruang keluarga. Di sana, Freddy berjalan dengan didampingi seorang wanita bergaun dan berkerudung hitam. Wajahnya tidak terlihat dari sudut pandangku. Namun, dari postur tubuhnya, bisa kuingat kalau wanita itu adalah wanita yang sama dengan yang kulihat di buku album Freddy.

Seperti ada sembilu, hatiku kembali nyeri. Debaran jantungku kembali bertalu-talu. Melihat pemandangan itu, aku merasa seperti salah tempat. Mungkin, seharusnya aku tidak ke sini.

Saat berpikir ingin pergi, pandangan Freddy menangkapku. Matanya sedikit membesar karena terkejut. Sementara aku tetap menatapnya dengan perasaan campur aduk. Tidak butuh waktu lama, wanita di samping Freddy ikut menoleh ke arahku. Ada keterkejutan pada tatapannya, tapi segera menghilang dan berganti senyum yang kuartikan dengan meremehkan.

Sampai saat ini, aku masih berasumsi wanita itu tunangan atau bahkan istri yang Freddy sembunyikan dariku selama bertahun-tahun. Bisa-bisanya wanita itu muncul di hadapanku dan juga di depan orang-orang yang mengetahui statusku dengan Freddy. Apa wanita itu tidak punya malu? Melingkarkan tangannya dengan posesif pada tunangan orang lain.

Cengkramku mengencang pada pegangan koper yang kubawa. Hatiku panas, mendadak perasaan sedih akibat kehilangan Papi Raymond berganti perasaan sakit hati yang menyesakkan.

Permainan macam apa yang sedang Freddy dan wanita itu lakukan di sini. Di depan semua keluarga, saudara dan kerabat dekat laki-laki itu. Luapan emosi nyaris membuatku mendatangi dua orang itu dan menampar mereka satu per satu. Mungkin dengan tambahan tendangan di tulang kering masing-masing. Namun, akal sehatku masih mendominasi dan tidak mungkin rasanya meledakkan emosi di tengah suasana duka.

Aku mencoba menenangkan diri dengan menarik dan mengembuskan napas perlahan. Kuregangkan cengkraman pada pegangan koper dan meletakkan koperku di samping pintu agar tidak menghalangi lalu lalang orang-orang yang melayat.

Freddy berjalan ke arahku, meninggalkan wanita di sampingnya yang masih menatapku dengan tatapan menyebalkan. Sementara laki-laki itu tetap memberikan tatapan terkejut sekaligus bersalah yang mengarah padaku. Aku tidak peduli. Hilang sudah simpatiku padanya. Tidak tahukah dia kepanikanku akan kabar meninggalnya Papi Raymond dan bergegas kemari karena kukira dia sangat sedih dan terpukul sehingga aku ingin sekali cepat berada di sisinya untuk sekadar memberikan kekuatan. Sialnya justru aku yang dibuat terkejut bukan main. Aku tersenyum miris.

Aku menegakkan punggung saat Freddy sampai tepat di depanku. Menghela napas berat tanpa mengalihkan tatapannya padaku barang sedetik pun. Lengan Freddy terulur hendak menyentuh tanganku, tapi refleks kupindahkan posisi tanganku. Melihat reaksi penolakan dariku, sekali lagi Freddy mengembuskan napas berat.

Freddy sedikit berdeham sebelum berkata. "Ayo, beri ucapan selamat tinggal pada papi sebelum beliau dikebumikan." Lalu melanjutkan. "Sampai akhir, beliau tetap menyebut namamu dan ingin bertemu denganmu."

Mendengar perkataan Freddy, membuat mataku memanas dan tetes demi tetes air mataku mengalir tanpa bisa dicegah.

Selamat tinggal papi.

- o -

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 11, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Finding My RingWhere stories live. Discover now