15. The Search Begins

335 41 0
                                    

"Pergi lagi?!" tanya bunda tidak percaya. "Memangnya kamu mau ke mana?" Tatapan menyelidiknya menelitiku dari ujung rambut hingga ujung jempol kaki.

Sumpah demi apapun, ingin sekali rasanya aku pergi tanpa harus pamit pada bunda dan ayah, tapi itu tidak mungkin. "Ada temanku yang akan menikah di Surabaya dan aku diundang," jawabku berusaha santai saat makan malam, padahal di dalam sana jantungku berdebar tidak karuan.

Dari gerakannya, bunda terlihat ingin mengajukan pertanyaan lagi, tapi ayah keburu bersuara, "Teman yang mana?"

Glek! Mati aku.

"Te—man, temanku yang di Surabaya, Yah. Sahabat waktu kuliah. Dulu kami sangat dekat dan aku pernah berjanji akan menghadiri pernikahannya di mana pun dia menikah."

Tuhan, tolong aku!

"Coba mana undangannya? Bunda mau lihat?"

"Ya nggak pakai undangan, Bun. Melissa cuma kirim pesan lewat WA kalau dia mengundang aku ke nikahannya dan menagih janjiku untuk datang."

"Kok, kayaknya nggak resmi, sih? Hari gini udah nggak zaman ya undangan cetak gitu?" Bunda melihatku dengan tatapan tidak percaya. Ingin rasanya aku menghilang saat ini juga.

"Ya udah nggak zaman lah, Bun ... sekarang kan paperless, jadi kirim chat dengan tujuan mengundang dengan informasi tanggal, jam, dan tempat diadakan acara aja udah cukup resmi dan mewakili." Nada suaraku mulai sewot karena terus ditanya macam-macam.

"Ya, tapi kan tetap aja itu kurang sopan menurut Bunda, harusnya—"

Dehaman ayah memotong kata-kata bunda yang mulai meninggi. "Hati-hati di sana. Berapa hari kamu pergi?"

"Ehm ... kemungkinan tiga hari, Yah. Melissa memintaku untuk menemaninya lebih lama." Semoga bisa lebih cepat dari tiga hari.

Ayah mengangguk, lalu meminum air yang disuguhkan oleh bunda yang duduk di sebelahnya.

Aku kembali ke kamar dengan perasaan bersalah karena telah membohongi ayah dan bunda. Sejujurnya, aku benci berbohong pada mereka, tapi aku tidak punya pilihan. Tidak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya.

Keesokan harinya, aku berangkat ke bandara lebih cepat dari pada ayam jantan berkokok. Satu jam sebelum waktu keberangkatan, aku sudah duduk di ruang tunggu. Melihat foto di galeri handphone dan mencari petunjuk dalam ingatanku, di mana kira-kira aku melepaskan cincin itu.

Ayo, Kinan. Ingat-ingat lagi kapan terakhir kali kamu mengenakannya. Sayangnya, semakin aku berusaha mengingat, semakin aku tidak ingat. Aku menyerah dan memasukkan kembali handphone-ku ke dalam tas tangan.

Tidak lama, terdengar suara pengumuman pesawat dengan nomor penerbanganku dipersilakan untuk boarding. Aku beranjak dari duduk dan berjalan memasuki gate pesawat yang akan menerbangkanku ke Surabaya. Sekali lagi aku berdoa, semoga pencarianku berhasil karena jujur saja, aku ragu bisa menemukan cincin itu dengan cepat, aku bahkan sama sekali tidak ingat di mana aku kehilangannya.

Satu jam penerbangan dari Soekarno Hatta ke Juanda kuhabiskan dengan tidur. Kepalaku pusing, kebanyakan mengingat-ingat dan kelelahan karena kurang istirahat yang baik dan benar.

Keluar melalui pintu kedatangan sambil menarik koper kecil, aku mengedarkan pandangan mencari tempat duduk untuk menunggu pesawat Ilham mendarat. Dari jadwal kedatangan, aku melihat nomor pesawat yang ditumpangi Ilham dari Medan ke Surabaya akan mendarat dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Semoga tidak delay.

Aku menghidupkan handphone dan segera mendapat serangan chat bertubi-tubi yang masuk secepat kedipan mata dari Freddy. Gawat! Aku lupa memberitahunya. Tidak lama, handphone-ku berbunyi, dia menelepon.

Finding My RingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang