21. His Attention - 2

369 40 2
                                    

Ini kali kedua aku terbangun dengan kepala sangat sakit. Refleks jariku memijat bagian kepala yang terasa tidak nyaman. Bodoh, apa yang sudah kulakukan? Mabuk karena dikhianati?! Benar-benar payah!

"Bagaimana perasaanmu?"

Aku menjengit, terkejut karena ternyata aku tidak sendirian. Sejak kapan aku pindah ke kamar? Oh, tidak perlu ditanyakan lagi siapa yang membopongku sampai di sini, pasti Ilham yang sudah melakukannya.

Aku bangun dan bersandar pada kepala tempat tidur. Saat bergerak, kepalaku seperti berputar, segera kututup mata agar pusingnya tidak bertambah parah. Sebuah tangan memijat pelan pelipisku, rasanya nyaman. Aku ingat pijatan ini, Ilham pernah melakukannya waktu aku tidak sengaja mabuk di tempat ini juga. Tunggu! Aku ingat sekarang. Sebelum aku jatuh pingsan karena mabuk, aku masih memakai cincin. Iya, benar, aku masih memakainya!

"Ilham!" seruku sambil memegang tangannya, membuat pijatannya berhenti. "Kamu ingat waktu aku tidak sengaja mabuk di sini? Aku masih memakai cincinnya."

"Lalu? Di mana kira-kira cincinnya berada sekarang?" tanya Ilham.

Aku diam, lalu menggeleng. "Aku tidak ingat."

Ilham menghela napas. Sepertinya dia kesal, tapi ditahannya. Kalau aku di posisinya, aku pasti juga kesal, bahkan mungkin marah. Bagaimana bisa ada orang yang kehilangan cincin, tapi tidak ingat sama sekali di mana cincin itu hilang. Ilham sudah sangat sabar menghadapiku, ditambah kelakuanku seharian ini sudah benar-benar merepotkannya.

Rasa bersalah menghinggapiku. Seharusnya aku tahu diri dengan tidak menyusahkannya dalam frustasi akibat perselingkuhan Freddy. Aku bertingkah layaknya bocah. Syok, kesal, marah, lalu melampiaskannya dengan minuman, dan berakhir mabuk, sangat kekanakan sekali.

"Maaf," gumamku sambil menuduk.

Ilham kembali menghela napas, aku tahu dia bingung. "Sudahlah, tidak apa-apa." Dia menarik kursi yang tadi didudukinya mendekat padaku. Lalu dengan sabar, dia mengajakku bicara.

"Sekarang, apa yang ingin kamu lakukan? Kamu sudah mengingat bahwa cincinmu masih kamu pakai sebelum jatuh pingsan karena mabuk beberapa hari yang lalu, tapi kamu juga tidak ingat di mana cincinnya berada setelah itu." Ilham bertanya dengan lembut, aku jadi makin merasa bersalah.

"Entahlah, Ham. Saat ini pikiranku kacau, aku tidak bisa berpikir, kepalaku sakit," kataku jujur.

Ilham diam, wajahnya terlihat sedang berpikir. "Bagaimana kalau kita bongkar kopermu? Siapa tahu terselip di salah satu kantongnya, mungkin?"

Aku menggeleng. "Bukan itu koper yang kubawa waktu jalan-jalan kemarin. Koper itu kutinggal di Jakarta, di kamarku."

Ilham diam lagi. "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

Aku kembali menggeleng. Ilham juga diam, kali ini sambil memandangku dengan tatapan yang enggan kuartikan, walau jelas terlihat dia sedang berpikir.

Ah, sudahlah, Ham. Berhentilah memberiku perhatian, perlakuanmu semakin membuatku merasa bersalah.

Ilham tersenyum, berdiri dari duduknya, lalu menghampiriku. "Ok. Sekarang, kamu istirahat. Besok pagi, ada yang harus kita lakukan."

Kali ini, aku membalas dengan anggukan. Ilham berbalik dan berjalan keluar dari kamarku. Segera setelahnya, aku merasa kesepian dan teringat lagi pada pengkhianatan Freddy.

*

Suara bel membangunkanku. Saking kencangnya, kurasa suaranya bisa membangunkan tamu sehotel. Memangnya ini jam berapa, sih? Jam digital di atas nakas menunjukkan pukul 05.45. Masih pagi.

Finding My RingWhere stories live. Discover now