13. Back to Jakarta

314 38 0
                                    

Perjalanan kembali ke Jakarta terasa ada yang kurang, seperti ada yang tertinggal. Kucoba mengingat-ingat kembali, adakah sesuatu yang terlewat olehku.

"Beib, kamu kenapa?" tanya Freddy.

Aku menggeleng. "Enggak, nggak papa."

"Tapi muka kamu kayak yang lagi mikir gitu. Alis kamu juga sampai dempet. Coba ngomong, siapa tahu aku bisa bantu," kata Freddy sambil mengelus lembut punggung tangan kiriku yang berada di atas dudukan lengan kursi pesawat.

Aku tersenyum simpul menanggapi tawarannya, lalu melengos kembali menatap awan bertumpuk yang tampak dari jendela pesawat. Kudengar Freddy menghembuskan napas berat dan menarik tangannya yang tadi mengelus punggung tanganku.

Bukannya tidak ingin dibantu, tapi sungguh, aku sendiri tidak tahu apa yang kurang. Perasaanku mengatakan itu sesuatu yang penting.

Suara pengumuman pilot yang berasal dari kokpit memberitahukan pesawat akan mendarat sebentar lagi. Kulirik Freddy yang sedang tertidur, wajahnya terlihat lelah. Sebenarnya aku juga mengantuk, tapi pikiran akan sesuatu yang tertinggal menggangguku, membuat rasa kantukku menghilang.

Setelah hampir dua jam mengudara, pesawat kami akhirnya mendarat juga di Bandar Udara Soekarno Hatta. Freddy bergerak di kursinya, menoleh padaku yang juga sedang melihatnya.

"Akhirnya mendarat juga. Badanku rasanya pegal, enaknya mampir ke tempat massage nih, tapi nanti saja, itu bisa menunggu. Sekarang kita harus memastikan keadaan Papi di rumah sakit," katanya sambil merenggangkan kedua tangannya. Aku mengangguk.

Kami antri keluar dari kabin pesawat dan menunggu bagasi, setelah itu Freddy menelepon asisten pribadinya yang ternyata sudah menunggu kami di pintu kedatangan.

Edi, asisten pribadi Freddy, tersenyum ramah saat melihat aku dan Freddy keluar dari pintu kedatangan. Dengan sigap dia mengambil alih koper besarku yang sebelumnya dibawa oleh Freddy dan membawa kami ke mobil yang sudah menunggu di area drop out.

"Kita langsung ke rumah sakit, Di. Saya harus segera melihat keadaan Papi," perintah Freddy pada Edi sesaat setelah kami masuk ke dalam mobil.

"Baik, Pak."

Freddy menghembuskan napas lelah, menyandarkan tubuhnya pada jok mobil dan menutup matanya. Aku juga mengikutinya bersandar, punggungku kaku dan pegal. Rasanya ingin sekali rebahan di atas kasur.

"Kira-kira berapa jam kita sampai di rumah sakit?" tanyaku pada Edi.

"Kalau nggak macet, sekitar empat puluh menitan sampai, Mbak, tapi kalau macet ya bisa sejam lebih." Edi menjawab sambil melihat ke arahku melalui kaca spion.

Aku mengangguk, lalu memejamkan mata, tidak lama aku tertidur.

Tepukan intens di lengan membuatku terjaga. Samar-samar kudengar suara Freddy. "Kin, Kinan. Kita sudah sampai di rumah sakit."

"Oh, iya. Maaf, aku ketiduran."

"Enggak apa-apa, kamu pasti lelah. Nanti setelah menjenguk Papi, kamu mau aku antar langsung ke rumah atau mau mampir tidur dulu di apartemen aku di dekat sini?" tawarnya.

Mampir tidur di apartemen Freddy terdengar cukup bagus, tapi tidak, lebih baik aku langsung pulang saja. Selain itu, aku tidak akan nyaman berada di apartemen Freddy berduaan dengannya.

Aku menggeleng. "Antar aku pulang aja."

Freddy diam sebentar. "Baiklah, aku antar kamu pulang setelah kita bertemu dengan Papi," katanya dengan seulas senyum singkat.

Ruang rawat Papi berada di lantai teratas rumah sakit, kelas VVIP. Kamarnya luas dengan sofa panjang dan meja untuk penjenguk berada di sudut seberang tempat tidur pasien. Di sebelahnya ada pantry kecil dan sebuah pintu yang kutebak adalah pintu kamar mandi.

Finding My RingWhere stories live. Discover now