19. Accidentally

420 39 2
                                    

"Kamu mau makan apa?" tanya Ilham setelah kami duduk pada salah satu kursi di food court yang dekat dengan pintu keluar.

Jujur saja aku tidak berselera untuk makan. Rasanya pikiranku acakadut. Aku nggak bisa mikir dan nggak nafsu makan, bahkan nggak nafsu ngapa-ngapain. Aku pengin rebahan, tubuhku lelah. Tapi aku tidak enak pada Ilham yang sudah dengan sabar menemani dan membantuku mencari cincin.

Demi menghormati Ilham, aku menjawab, "Samain aja sama pesananmu. Aku lagi nggak tahu mau pesan apa."

Ilham menarik kedua sudut bibirnya dan kelihatan berpikir. Lalu, tiba-tiba dia berdiri. "Tunggu di sini sebentar."

Aku mengikuti ke arah mana Ilham berjalan. Awalnya, kupikir dia mau ke kedai bakso yang berada persis di sebelah pintu masuk. Tapi aku salah, Ilham malah keluar melalui pintu masuk dan berbelok ke kanan. Mau ke mana dia?

Aku menunggunya. Melihat lurus ke arah pintu masuk. Lima menit berlalu, Ilham belum juga muncul. Jangan bilang dia pergi meninggalkanku di sini? Kalau benar, tega sekali dia!

Bukan marah yang kurasakan jika memang Ilham meninggalkanku, tapi takut. Aku takut sendirian, aku tidak tahu harus ke mana jika dia tidak kembali ke sini, aku tidak mau dia pergi. Saat ketakutan mulai menghinggapiku, Ilham muncul dari pintu dia keluar tadi. Senyumnya mengembang, matanya menatap lurus padaku, seketika hatiku lega sekaligus berdebar. Ilham terlihat lebih tampan dengan cahaya matahari dari pintu kaca yang menjadi latarnya.

"Ini es krim sandwich terenak di sini. Kamu harus mencobanya." Ilham menyodorkan es krim yang diapit oleh roti berwarna cokelat yang terlihat keras. Es krim vanila di tengahnya ditaburi meses warna warni dan choco chips. Melihat penampakannya cukup membuatku tergiur.

Kucoba memakannya dengan satu gigitan. Kupikir roti cokelatnya keras atau crunchy, ternyata lembut. Cukup satu gigitan dan es krim ini masuk kategori sangat enak menurutku. Tidak terasa, dua potong es krim sandwich ludes dalam waktu kurang dari tiga menit. Aku makan seperti orang kelaparan.

Ilham memandangiku sambil senyum-senyum. Kurasa sebentar lagi dia akan mengejekku. Saat kulihat dia ingin bicara, aku mendahuluinya.

"Terima kasih, ini benar-benar enak," kataku sembari menyeka mulut dengan tisu.

"Syukurlah kalau kamu suka. Es krim sandwich itu cukup terkenal. Cuma satu kedainya, ya di sini ini, makanya selalu ramai. Itu kenapa tadi aku lama, antriannya panjang," jelas Ilham.

Mendengar penjelasannya, hatiku semakin berdebar. Apa Ilham tahu tadi aku cemas menunggunya?

"Bagaimana perasaanmu? Sudah lebih baik?" Raut khawatir terlihat jelas di wajah Ilham.

Jangan-jangan dia bela-belain beli es krim untuk memperbaiki suasana hatiku? Jantungku please, berdetaklah lebih normal.

"Kinan, kamu tidak apa-apa? Wajahmu merah," tanya Ilham.

"Eh, nggak. Aku nggak apa-apa, aku baik, baik-baik aja," jawabku tergagap sambil meletakkan kedua tangan pada pipi kiri dan kanan. Wajahku terasa hangat. Aku tidak demam, aku hanya tidak tahu ada apa dengan diriku.

Kutarik napas perlahan, memerintahkan diriku untuk lebih tenang. Sementara Ilham masih mengamatiku.

Berhentilah memandangku seperti itu. Kamu membuatku salah tingkah! jeritku dalam hati.

Aku berusaha mengalihkan mataku dari Ilham dan tatapannya. Tapi sebuah pemandangan mengejutkan muncul tepat di depanku, di tempat tadi Ilham terlihat tampan dengan latar cahaya matahari.

Di seberang sana, seorang laki-laki merangkul mesra seorang wanita. Wanita yang tidak bisa kulihat dengan jelas karena mataku fokus pada laki-laki itu. Mereka terlihat bahagia, bercanda tawa berdua. Tubuhku kaku, jantungku yang semula berdebar karena perhatian Ilham, kini berganti jadi debaran menyakitkan. Hatiku terasa ngilu, seperti ada yang dengan sengaja menusuk-nusuknya dengan jarum kecil tak kasat mata. Air mataku pun mengancam akan keluar, sekuat tenaga kutahan.

Finding My RingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang