23. Box Package

569 55 9
                                    

Penerbangan dari Lombok ke Jakarta terasa sangat lama. Mungkin karena aku sama sekali tidak menikmatinya. Berbagai pertanyaan dan asumsi berkejaran di dalam kepalaku. Aku sudah tidak sabar ingin meluruskannya dengan Freddy, tetapi aku masih harus bersabar hingga pesawat ini mendarat di Jakarta.

"Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Ilham sambil membolak-balik majalah yang sudah dibacanya.

"Eh? Kenapa?" jawabku bingung karena sejak tadi pikiranku berkelana entah kemana.

Ilham menutup majalah dan menyelipkannya kembali pada kantong kursi di depannya, lalu menoleh padaku. "Sejak tadi kamu diam saja. Wajahmu murung dan alismu terus berkerut seperti ini." Ilham memperagakan ekspresi wajahku, aku jadi pengin tertawa.

"Itu hanya perasaanmu saja," ucapku sambil mengulum senyum dan memalingkan wajah dari ekspresi anehnya.

"Aku tidak tahu apa yang mengganggu pikiranmu. Tetapi saranku, lebih baik kamu coba untuk mencari teman curhat, agar apapun yang saat ini mengganjal perasaanmu, tidak kamu pendam sendirian." Ilham mengatakan itu dengan senyum lembutnya. "Itu tidak baik untuk kesehatan hati dan pikiranmu," tambahnya lagi.

Aku mendengarkan kata-kata Ilham tanpa menoleh padanya. Pikiranku kembali sibuk dengan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi saat aku bertemu dengan Freddy.

Dua jam mengudara, akhirnya pesawatku mendarat juga. Demi mematuhi peraturan penerbangan, aku bersabar untuk tidak mengaktifkan telepon genggam saat masih di dalam kabin pesawat. Padahal tanganku sudah gatal sekali ingin menghubungi Freddy dan mengajaknya bertemu.

Saat pintu pesawat dibuka dan penumpang dipersilakan keluar, dengan cepat aku mengikuti arus penumpang keluar dengan Ilham mengekor di belakangku.

Di ruang kedatangan, aku menghidupkan gawai. Tidak lama, berbagai notifikasi pesan WhatsApp masuk, sebagian besar dari Freddy. Belum sempat aku membukanya, Ilham menepuk pundakku.

"Perlu kuantar pulang?" tanya Ilham.

"Tidak perlu, terima kasih. Sudah ada yang akan menjemputku," jawabku dengan seulas senyum. Padahal aku tidak yakin apakah benar ada yang akan menjemputku atau tidak.

"Baiklah kalau begitu. Kita berpisah di sini. Hati-hati di jalan," ucapnya sambil menepuk lembut pundakku dua kali. Dan Ilham berlalu sambil menarik kopernya menuju pintu keluar kedatangan.

Aku masih berdiri sambil memandangi arah Ilham menghilang, lalu disadarkan oleh getaran pada gawaiku. Nama Freddy muncul di layar.

"Iya."

"Beib, maaf tadi handphoneku tiba-tiba mati, habis baterai. Kamu di mana sekarang? Sudah mau boarding? Atau masih perjalanan ke bandara?" tanya Freddy bertubi-tubi.

Sebaiknya aku jawab apa, ya? Ingin rasanya kumaki Freddy saat ini juga, tetapi meluapkan emosi di telepon akan percuma, dia tidak akan mengerti. Selain itu, aku jadi tidak bisa tahu reaksinya bagaimana karena tidak melihat langsung orangnya. Aku harus sabar. Tenang, Kinan. Semua bisa dibicarakan baik-baik.

"Aku baru saja mendarat di Soetta. Kamu di mana?" tanyaku balik padanya.

"Hah?! Benarkah? Kupikir kamu masih di Surabaya?!" kata Freddy, terkejut.

"Aku tidak bohong. Kamu bisa menjemputku sekarang di terminal tiga kalau kamu nggak percaya," ucapku santai.

Kita lihat, jika Freddy bisa menjemputku, berarti kemarin dia tidak sedang di Lombok. Tetapi jika dia tidak bisa menjemputku, itu artinya dia pun baru saja kembali dari Lombok, dan orang yang kemarin kulihat di sana benar adalah dia.

Finding My RingWhere stories live. Discover now