1. Before Engagement

840 59 7
                                    

Rasanya baru kali ini rumah orangtuaku begitu ramai. Semua saudara baik dari pihak ayah ataupun bunda datang untuk menghadiri acara yang akan diadakan pada hari bersejarah dalam hidupku.

Ini baru pukul tujuh lebih lima belas menit, tapi tante-tante dan om-om sudah menyuruhku masuk kamar untuk tidur. Katanya, biar besok aku terlihat lebih segar. Padahal, mereka suruh aku tidur cepat juga belum tentu aku bisa langsung tidur.

"Akhirnya... Setelah 336 purnama terlewati, anak gadis bunda dilamar juga," kata bunda mendramatisir sambil berjalan masuk ke dalam kamarku.

Aku memutar bola mata, bosan. Coba kuhitung, entah sudah berapa kali bunda mengatakan itu hari ini, memangnya dia nggak bosan?

"Dapet dari mana tuh 336 purnama? Bunda sok tau," kataku mencebik.

"Ih... Bunda ngitung tau," kata bunda sambil duduk di atas kasur di sampingku yang sedang sibuk membuka aplikasi belanja online.

"Besok kan hari ulang tahun kamu yang ke-28 sekaligus hari lamaran kamu, tuh. Angka itu Bunda hitung dari bulan kamu lahir 28 tahun yang lalu. Coba hitung 28 kali 12, hasilnya 336, kan purnama terjadi setiap sebulan sekali. Bunda pinter, kan..." ucapnya dengan nada senang.

Sekali lagi mataku memutar ke atas, malas.

"Kin, kamu deg-degan, nggak? Besok kan kamu dilamar di depan keluarga besar, tuh. Kamu pasti deg-degan, iya kan, hayo ngaku aja..." goda bunda sambil mencolek-colek pinggangku, membuatku geli.

"Apaan sih, Bunda. Geli tau," ucapku sambil bangun dari tidur tengkurap dan duduk menghadapnya.

"Deg-degan dari mana, biasa aja, tuh. Lagian ya, Bun, aku sama Freddy udah pacaran hampir tiga tahun, kami juga udah bukan ABG lagi. Udah nggak ada deg-degan deg-degan lagi."

Bunda mengernyitkan dahi mendengar kata-kataku.

"Serius kamu udah nggak ada deg-degan deg-degan lagi sama Freddy?" tanya bunda serius.

"Enggak," jawabku sambil menggeleng.

"Kamu masih cinta sama Freddy, kan? Itu kenapa kamu setuju mau dilamar besok, kan?" tanya bunda lagi, kali ini dia mencondongkan tubuhnya mendekat.

"Ya masih lah, Bun. Apaan sih, nanya-nanya begitu," jawabku setengah kesal.

"Syukurlah... Habis kamu tadi bilang udah nggak ada deg-degan deg-degan lagi, bunda jadi mikir kamu udah nggak cinta lagi sama Freddy. Soalnya, bunda sama ayah aja sampai sekarang masih sering deg-degan setiap tatap-tatapan sama sentuh-sentuhan."

Bunda berkata itu dengan senyum dan bahasa tubuh malu-malu. Aku yang melihatnya jadi geli sendiri. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, hubunganku dengan Freddy akhir-akhir ini memang terasa hambar, sih. Aku sibuk dengan kerjaanku dan Freddy juga sibuk dengan bisnisnya, kami berdua juga jarang bertemu. Bahkan, dua bulan belakangan ini, kami hanya bertemu saat weekend dan itu pun untuk makan siang sebentar tanpa jalan-jalan. Permintaan Freddy untuk melamar saja dilakukan lewat telepon minggu kemarin karena dia sedang dalam dinas keliling Asia.

Ah, sudahlah. Mungkin perasaan hambar ini hanya karena kami jarang bertemu, nanti setelah menikah dan tinggal bersama juga itu akan hilang sendiri, pikirku optimis.

"Heh, bengong, aja! Dari tadi bunda ajak ngomong kamu sibuk melamun." Suara protes bunda membuyarkan lamunanku.

"Hoahmm... Aku ngantuk, Bun..."

Aku pura-pura menguap untuk memberi kesan mengantuk pada bunda yang sepertinya masih betah mengajakku diskusi.

Wajah bunda merengut. "Padahal, bunda masih mau ngobrol sama kamu. Besok-besok pasti susah ngobrol kalau kamu udah nikah..."

"Aku baru mau tunangan, Bunda... Belum nikah. Kayak yang besok aku nikah terus dibawa keluar dari rumah, aja."

Bunda masih terlihat merengut. "Ya, tapi kan tetep aja. Habis tunangan, persiapan nikah, sibuk urus sana urus sini, jadi susah ngobrol juga, kan."

Aku menghela napas. Baiklah, sepertinya bunda terkena sindrom 'berat melepaskan anak gadis' lebih cepat dari kebanyakan orangtua di luar sana. Aku beringsut mendekati bunda, kupeluk pundaknya dari samping dan mengelus lembut lengannya yang sudah mulai mengeriput dimakan usia.

"Jangan manyun gitu dong, Bun. Nanti cantiknya hilang, deh. Walaupun udah nikah, aku bakal sering ke sini, kok, janji deh. Atau aku minta Freddy aja untuk tinggal di sini sama bunda dan ayah?"

"Ih, jangan, ah. Freddy kan orang berada, mana mungkin kita kasih tinggal di rumah kecil ini, turun derajat dia nanti. Lagian nggak enak sama keluarga besar Freddy, mereka bakal mikir apa kalau lihat Freddy tinggal di sini."

"Rumah ini kecil dari mananya, Bun? Rumah dua tingkat kamar empat nggak bisa dibilang kecil kali," protesku.

"Ya, tapi kalau dibandingin sama rumah Freddy mah rumah ini nggak ada apa-apanya. Kalau kata anak-anak sekarang tuh, nggak selevel," ucap bunda yang mengikuti gaya bicara anak-anak alay.

Aku tertawa. "Bunda bisa aja ngikutin omongannya bocah-bocah alay."

"Ya, sudah. Kamu istirahat sekarang, gih. Besok tukang rias datang pagi-pagi, loh. Jangan lupa doa sebelum tidur, biar nggak diganggu setan tidurnya."

Sebelum keluar dari kamar, bunda mencium lembut keningku. Kebiasaan yang sedari aku kecil sudah dilakukannya hingga aku setua ini. Benar kata orang-orang, mau setua apapun, seseorang akan tetap menjadi anak bagi orangtuanya.

Rasanya, baru sebentar terlelap, kini aku sudah terbangun dengan suara berisik di luar pintu kamar. Panggilan dan ketukan konstan membuatku tersadar dari tidur.

"Ini jam berapa, sih?" gumamku pelan sambil meraba-raba kasur untuk mencari handphone-ku.

Kupencet tombol ON di sebelah kanan handphone, layarnya langsung menyala dan menampilkan screen berlatar pemandangan pantai. Pukul 04.15. Belum juga waktu Subuh dan aku sudah dibangunkan?

Tok tok tok!

"Kin... Kinan... Bangun... Udah jam empat lewat nih..." Kudengar suara bunda memanggil.

Aku kembali menguap. "Iya, sebentar, Bun..."

Aku bangun dengan malas tanpa menyalakan lampu kamar. Menyeret kakiku yang terasa berat dan memutar kenop pintu. Segera setelah pintu terbuka, aku berbalik kembali ke atas kasur dan bergelung dalam selimut.

Bunda masuk ke dalam kamar dan menyalakan lampu. Karena suasana kamar mendadak terang, aku menutup kepala dengan selimut. Bunda yang gemas melihat anak gadisnya belum juga bangun, menarik selimut yang menutupi tubuhku. Aku langsung terguling terlentang di atas kasur.

"Bangun, Kin! Udah hampir jam setengah lima, tuh. Setengah jam lagi tukang riasnya datang dan kamu belum ngapa-ngapain," omel bunda.

Aku bangun dan terduduk di atas kasur dengan mata masih terpejam.

"Aku masih ngantuk, Bun," rengekku.

"Kamu beneran mau tunangan nggak sih hari ini? Gadis-gadis normal yang mau tunangan mah pasti udah bangun tanpa dibangunin, lah kamu malah susah bangun."

"Beneran, Bun. Tapi, acaranya kan masih nanti jam satu siang, ini masih jam setengah lima, masih lama..."

"Nggak mau tau, kamu harus bangun, se-ka-rang ju-ga, titik! Kamu mandi aja bisa setengah jam, belum dandan sama tukang rias, belum pakai gaunnya, belum sarapan, dan lain-lain, malah masih mau lanjut tidur. Nggak bisa! Ayo, bangun sekarang!"

Perintah Bunda Ratu tak terelakkan. Kali ini aku benar-benar bangun. Selain suara omelannya yang seperti senapan GAU-19 dari Amerika Serikat yang mampu menembakkan empat ribu hingga delapan ribu peluru per menit tanpa henti, aku juga kehilangan selera tidur lagi. Aku bangun dan langsung masuk ke dalam kamar mandi yang berada persis di seberang pintu kamarku.

^o^

Finding My RingWhere stories live. Discover now