2. Engagement Day

501 41 2
                                    

Aku mengamati kembali pantulan wajahku di depan cermin. Rasanya dandanan ini berlebihan. Alih-alih merasa cantik, aku malah seperti ondel-ondel. Wajahku seperti didempul tebal dan pori-pori kulitku sedikit pun tidak terlihat. Tukang riasnya pakai bedak merek apa sih, sampai bisa menutup pori-pori dengan sempurna begini, selain itu waterproof lagi, wajahku jadi anti-air.

Aku melirik gaun berwarna salem yang terpasang di manekin sebelah meja rias. Gaun itu kiriman Freddy dua hari yang lalu. Cantik, tapi bukan seleraku. Aku penyuka gaun dengan potongan simpel dan warna yang terang, bukan lembut. Tapi menurut Freddy, aku lebih cocok pakai gaun berwarna soft, katanya lebih menonjolkan sisi feminimku. Memangnya aku kurang terlihat seperti wanita?

Kadang aku sebal dengan semua pengaturan Freddy. Laki-laki tukang atur itu sering sekali mengomentari apa yang bagus dan tidak untukku. Bahkan tidak sekali dua kali dia mengganti atau mengubah apa-apa yang sudah aku rencanakan. Rasanya, dia tidak pernah percaya pada pilihanku. Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa kami jadi jarang bertemu. Setiap bertemu, kami sering berselisih. Ujung-ujungnya aku memilih diam dan membiarkan dia yang mengatur. Tapi, setelah acara pertunangan ini, aku akan meminta pada Freddy untuk membiarkanku pergi keliling Indonesia dengan teman-temanku, sebelum aku resmi menjadi istrinya. Freddy harus setuju, bagaimanapun caranya.

Suara pintu terbuka mengalihkan pikiranku. Wanda, sahabatku, masuk ke dalam kamar dan langsung menghambur memelukku yang sedang duduk di depan meja rias.

"I'm happy for you, Kin. Setelah pacaran cukup lama, finally he proposed you. Bagaimana Freddy memintanya padamu? Coba ceritakan," cerocos Wanda setelah puas memelukku dengan erat.

"Lewat telepon," jawabku singkat.

"Seriously?" tanyanya dengan wajah tidak percaya.

"Double serious."

"Lewat telepon? Kok, nggak romantis, sih. Niat nggak sih dia melamarmu?"

Wajah Wanda terlihat tersinggung, padahal yang dilamar lewat telepon kan aku. Betapa baiknya sahabatku yang satu ini.

"Niat lah, buktinya hari ini kan peresmian lamarannya. Tuh, gaunnya udah ada, aku tinggal pakai aja," kataku santai.

Wanda hanya geleng-geleng kepala.

"Kalian pasangan santuy bener. Udah lah, kalian yang mau tunangan kok aku yang pusing," katanya sambil berdiri menghadapku.

Aku tertawa mendengar kata-katanya. Wanda memang hampir selalu khawatir berlebihan. Tapi, dia sahabat yang paling mengerti aku. Kami sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMA.

Suara ketukan terdengar dari luar pintu kamar. Seorang penata rias yang tadi izin keluar sebentar untuk ke kamar mandi, masuk kembali untuk membantuku memakai gaun.

Selesai memakai gaun, Wanda langsung berkomentar.

"You're so beautiful, Kin. Nggak nyangka, ternyata sahabatku yang urakan ini kalau didandanin bisa berubah jadi cantik," ucap Wanda yang masih berada di kamarku.

"Maksudnya, aku jelek kemarin-kemarin gitu?" tanyaku dengan ekspresi cemberut yang dibuat-buat.

Wanda malah tertawa. "Enggak. Kamu cantik kok, Kin. Cuma kurang dandan. Kalau dandan tuh kamu jadi dua tiga kali lebih cantik, percaya deh."

Aku hanya memanyunkan bibir mendengar ucapannya.

Wanda berdiri dan memintaku berputar dengan isyarat tangannya. Aku mengikuti permintaannya dan berputar perlahan di depannya.

"Wait!"

Aku berhenti berputar. Wanda menghampiriku dan menarik pelan rok gaunku yang terlipat di bagian belakang.

Finding My RingWhere stories live. Discover now