25. Meaning of The Ring

377 40 5
                                    

Ilham dan seorang petugas hotel berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka. Wajah Ilham tampak khawatir, sedangkan petugas hotel terlihat kebingungan karena tidak mengerti kenapa dia harus membuka pintu kamar tamu tanpa izin. Ilham memaksanya dengan ancaman akan melapor pada polisi jika terjadi sesuatu padaku di dalam kamar sendirian. Dari mana laki-laki itu tahu aku sedang dalam kondisi gamang? Selain itu, bagaimana caranya dia menemukanku di sini?

Petugas hotel pamit undur diri, meninggalkan Ilham yang masih berdiri menatap tajam padaku. Suasana berubah canggung, terlebih ketika Ilham masuk dan pintu menutup di belakangnya. Padahal, baru beberapa jam yang lalu kami berpisah di bandara, tapi sekarang kami bertemu lagi.

Sial! Jantungku tidak juga mau diam. Bukan, maksudku tidak mau tenang. Debarannya kian cepat sejalan dengan semakin pendeknya jarak di antara kami karena Ilham yang terus berjalan ke arahku.

Ilham berhenti dua jengkal sebelum menabrakku. Tatapan khawatirnya tadi berubah kesal. "Apa yang ingin kamu lakukan barusan?" tanyanya dengan suara dalam dan tertahan.

"Eh, a—ku...." Aku tidak mampu menjawabnya. Bukan karena tidak memiliki jawaban, tapi tiba-tiba otakku blank berada sedekat ini dengannya.

"Kuulang lagi. Apa yang ingin kamu lakukan barusan?" Kata terakhir diucapkannya penuh penekanan.

"Ng—nggak ada," jawabku gugup.

Ilham memicingkan matanya, seolah mencari kebenaran lewat mataku. Detik-detik mendebarkan karena tatapannya yang terasa seperti menembus jantungku. Selanjutnya, suara embusan napas leganya terdengar dan tatapan menyelidiknya berubah lunak. Lalu, tanpa terduga, Ilham menarikku ke dalam dekapannya. Detak jantungnya terdengar cepat di telingaku. Secemas itukah dia padaku?

"Kamu bikin aku takut, benar-benar takut," ucapnya sungguh-sungguh.

Aku yang awalnya sempat teralihkan pada sakit hati yang disebabkan pengkhianatan Freddy, kini teringat kembali. Dan tanpa bisa ditahan, air mataku mengalir. Aku terisak di dada Ilham. Merasakan perhatiannya, entah kenapa membuatku semakin ingin menangis. Freddy yang sudah berpacaran denganku selama tiga tahun, rasanya tidak pernah mencemaskanku sebesar rasa cemas Ilham saat ini. Kenapa Freddy yang justru seharusnya lebih mengerti aku, malah dia yang paling menyakitiku?

Sadar aku menangis dalam pelukannya, Ilham mempertahankan posisinya sambil menunggu isakanku mereda. Tangan kanannya mengusap kepalaku, sementara tangan kirinya menepuk pundakku dengan lembut. Rasanya aku tidak ingin menyudahi perasaan nyaman ini.

Perlahan tangisanku terhenti. Aku menjauhkan tubuhku dan melepaskan diri dari pelukan Ilham seraya mencoba menghapus jejak air mata. Ilham menundukkan diri, menyejajarkan wajahnya dengan wajahku.

"Tahu nggak, kamu jelek kalau lagi nangis," ejeknya dengan wajah tanpa ekspresi.

Dalam keadaan normal, sepertinya aku bakal kesal dan langsung marah mendengar ejekannya. Namun anehnya, aku malah geli dan tanpa sadar tersenyum padanya.

"Begitu lebih baik," katanya sambil menepuk ringan kepalaku.

Suasana kembali canggung. Aku bingung harus apa dan kulihat Ilham juga seperti salah tingkah.

"Sepertinya aku terlalu ikut campur, ya? Maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman." Ilham mengusap bagian belakang lehernya dengan canggung.

Aku segera menggeleng. "Nggak. Aku nggak terganggu. Aku ... terima kasih." Kata terakhir kuucapkan dengan pelan dan kepala menunduk.

"Kamu kenapa?"

"Terima kasih ... karena sudah mengkhawatirkanku."

Ilham tersenyum. "Sebenarnya ini di luar kendaliku. Tidak tahu kenapa, sejak perjalanan kemarin, aku merasa kamu sedang dalam tekanan, dan itu menggangguku. Membuatku ingin menghiburmu. Lalu saat di bandara, sebenarnya aku ingin mengantarmu pulang, memastikanmu sampai dengan aman di rumah, tapi kupikir itu akan membuatmu tidak nyaman. Selain itu, kamu bilang ada yang akan menjemput."

Finding My RingTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon