Chapter 64

69.4K 3.3K 80
                                    

Kemarahan Brandon terbit saat ia melihat seseorang memanggil Vanya ketika ia membukakan pintu. Dia hampir saja mengusir orang itu pulang, jika Rionard tidak menahannya. Seorang wanita yang ditemuinya di kantor polisi beberapa hari lalu ketika dirinya mengurus orang-orang yang terlibat dalam aksi jahat Natalie dan Olivia.

Awalnya Brandon tak begitu memperdulikannya, tapi setelah Rionard menceritakan sekilas tentangnya, Brandon pun menaruh kemarahan padanya. Ia cukup membuat adiknya Vanya menderita dulu.

Rionard mendekati Vanya dan menggengam jemari Vanya. "Kamu harus bicara padanya. Dia sedang sakit."

Vanya membulatkan matanya. "Sakit? Sakit apa?" Mata Vanya beralih dari Rionard. Ia memandang dengan seksama seseorang yang masih menunggu didepan pintu, karena Rionard masih menahannya disitu. "Iya benar, terlihat kurus." bantinnya membenarkan.

Rionard meninggalkan sebuah kecupan di pelipis Vanya, sebelum ia melangkah keluar bersama Brandon untuk membiarkan dua wanita itu bicara.

"Saya minta anda tidak terlalu lama bicara dengan adik saya. Dia masih perlu istirahat." ujar Brandon yang terus menatapnya tajam.

"Baik, saya tidak akan lama." sahutnya.

Wanita itu sedikit ragu saat mendekati Vanya, tapi ia akhirnya berjalan dengan pasti saat Vanya mengangguk tanda memberikan ijin jika ia boleh mendekati Vanya.

"Vanya, bagaimana kabarmu?" tanyanya ragu.

"Sudah lumayan membaik."

Ia menundukkan wajahnya sebentar sebelum ia berbicara dengan Vanya. "Van, saya minta maaf untuk semua kesalahan saya."

"Kenapa bibi tidak datang di pemakaman ayah?" tanya tegas Vanya.

Wanita itu menarik napasnya. "Hari itu saya sakit. Saya tidak bisa melihat kakakku Helmi untuk yang terakhir kalinya."

"Sakit apa?" Vanya mulai penasaran.

Lama wanita itu terdiam, kemudian ia menatap Vanya dengan matanya yang berkaca-kaca. "Ini hukuman untuk saya, Vanya."

Vanya semakin bingung. "Sakit apa bi?"

Sang bibi berucap dengan bergetar. "Saya terjangkit HIV/AIDS"

Vanya menutup mulutnya tanda tak percaya. "Bagaimana bisa?"

"Semua kesalahan saya Vanya. Bagaimana saya dulu membuat kamu bekerja keras untuk saya, karena kamu tahu saya sering sakit. Tapi nyatanya tidak. Semuanya untuk kesenangan saya saja. Akhirnya saya harus mendapatkan hukuman saya." ia berucap dengan penyesalan.

Seketika Vanya menatapnya iba. "Boleh saya peluk bibi?"

Wanita kurus dan pucat itu sedikit tercengang mendengar ucapan Vanya. Dia tampak ragu, karena tidak seharusnya Vanya berbuat baik padanya. Lebih baik ia mendapat cacian atau makian, daripada seperti ini. Membuatnya semakin merasa menyesal.

Vanya menarik tangan bibinya dan memeluknya. Ia tak mampu membendung airmatanya saat ia merasakan tubuh bibinya yang mulai mengurus.

"Maafkan saya Vanya.. Maafkan saya.." tangisnya tak terbendung.

Kalau kembali ke masa itu, Vanya terlihat sangat menyedihkan. Memiliki keluarga yang tak pernah menyayanginya padahal ia sangat menyayangi mereka. Vanya bekerja keras untuk keluarganya yang selalu memanfaatkannya. Belum lagi sakitnya saat Vanya mengetahui bahwa dirinya hanya seorang anak yang diambil dari jalanan. Entah dosa apa yang dilakukannya hingga ia merasa hanya hal-hal menyedihkan yang ada di kehidupannya.

"Sudah bi.. Vanya sudah memaafkan bibi. Dari awal Vanya memang tidak menyimpan dendam pada bibi. Vanya hanya kecewa, bibi tidak hadir di pemakaman ayah."

My Adult Senior (Complete) Where stories live. Discover now