Chapter 37

75.2K 3.4K 14
                                    

"Vanya.. Apa yang kamu cari disitu?"

"Ah.. Bukan apa-apa ayah. Vanya hanya mau pindahkan pot ini. Sepertinya kurang cocok kalau bunga ini ada disini."

"Maaf ayah, Vanya harus berbohong kali ini." batinnya berucap.

"Oh begitu. Mungkin lain kali saja kamu merapikannya. Sebaiknya kita kedalam. Sepertinya sebentar lagi hujan." sambil melihat keatas langit membenarkan penglihatannya.

"Oke." jawab Vanya dengan senyuman paksa.

Vanya memasuki rumahnya disusul Helmi dibelakangnya. Dan benar saja, tak lama berselang, rintik hujan mulai turun.

Vanya duduk di ruang tamu sambil termenung. Entah berapa lama ia termenung disitu, hingga akhirnya ia tersadar karena merasakan ada seseorang yang sedang menyentuh bibirnya.

Vanya refleks dan tanpa sadar dirinya memberikan tendangan tepat di tulang kering orang di depannya.

"Aaauuuwww....." rintih Rionard.

Vanya kaget dengan apa yang dilakukannya. "Maaf.. maaf.."

Rionard mengelus kakinya yang sakit. "Preman banget kamu!"

"Makanya jangan buat aku kaget. Maaf ya.." sesalnya sambil mengelus kaki Rionard yang sakit.

"Pokoknya hari ini kamu harus tidur di apartemenku."

Vanya mendorong kepalanya kebelakang sambil mengerutkan keningnya. "Apa hubungannya?"

"Kamu harus rawat kaki aku yang sakit."

"Gak mau. Kan salah sendiri."

"Kalo gitu, aku yang tidur di apartemen kamu."

"Ri.. Jangan aneh-aneh!"

"Silahkan kamu pilih."

"Dasar pemaksa!" kesal Vanya.

***

Vanya, Rionard, dan Helmi sudah duduk di meja makan yang telah berisi banyak jenis makanan yang sudah dimasak Rionard.

Vanya memperhatikan satu per satu masakan yang dimasak Rionard. Walaupun tidak semua bahan digunakannya, tapi Vanya sudah merasa cukup dengan beberapa bahan makanan yang berhasil diolah Rionard.

"Tampilannya, 7 dari 10." Helmi menilai.

"Baiklah, mari kita nikmati bersama." lanjut Helmi lagi.

"Silahkan dinikmati." ucap Rionard sambil menghela napas.

Vanya tersenyum sekilas melihat Rionard yang sepertinya tengah gugup. Jika dirinya disuruh lari 5.000 km atau jika ayahnya meminta sebuah mobil berlogo kuda jingkrak atau mungkin meminta real estate seharga 500 USD, pasti akan lebih mudah untuk seorang Rionard melakukan atau memberikannya. Memasak? Sepertinya ini hal sulit untuk dirinya.

Vanya dan Helmi meraih satu persatu makanan yang tersaji. Tak menunggu lebih lama, Helmi menyendokkan makanannya kedalam mulutnya dan mulai mengunyahnya pelan. Vanya yang penasaran dengan ekspresi Helmi, ikut menyendokkan makanan kedalam mulutnya.

"Pasti tidak enak ya?" tanya Rionard cemas melihat keduanya tampak dengan wajah datar.

"Maaf kalau masakan saya tidak enak." Rionard merasa tak nyaman.

"Rionard.. Saya berharap kamu terus mengingat janjimu untuk terus membahagiakan putri saya."

"Baik om. Hah? Om setuju?"

"Ya."

"Masakan saya enak om?" tanya Rionard dengan semangat.

"Not bad." jawab Vanya.

"Rionard, sejak kemarin saya sudah menyetujui hubungan kalian. Saya percaya, siapapun yang Vanya pilih, itu pasti yang terbaik untuknya. Hari ini saya hanya mau melihat kemampuan kamu saja. Kalau urusan bisnis, pastinya saya tak perlu ragu."

Helmi meneguk air minumnya dan kembali berbicara. "Menurut saya, pria itu wajib untuk bisa memasak. Tidak harus sangat enak, yang penting kamu bisa. Karena wanita itu sangat senang jika prianya bisa melakukan hal-hal sederhana untuknya, salah satunya memasak. Tapi jangan khawatir, kalaupun tadinya kamu tidak bisa memasak, saya akan tetap menerima kamu."

"Terimakasih om. Saya akan tepati janji saya." ucapnya mantap.

"Ayo dimakan. Enak lo masakan kamu. Pernah belajar masak sebelumnya?"

"Saya belajar sendiri. Mommy membiasakan saya mandiri waktu kuliah dulu. Akhirnya saya terbiasa untuk mengurus diri saya sendiri. Soal memasak, seadanya saja. Yang penting saya bisa memakannya. Kalau masalah enak, saya rasa belum."

"Ini sudah cukup. Awalnya saya pikir kamu sama sekali tidak bisa memasak. Tapi setelah melihat kamu mulai mengambil peralatan memasak yang akan kamu pakai, saya memberi harapan penuh sama kamu."

"Oh ya, bagaimana orangtua kamu? Apakah mereka setuju dengan hubungan kalian? Saya hanya berpikir apakah status anak saya menjadi masalah untuk keluarga kamu?"

"Sama sekali tidak om. Saya sudah pernah membicarakan hal ini dengan keluarga saya. Ibu saya juga pernah sekali bertemu Vanya. Beliau menyukai Vanya. Saya juga sudah membicarakan perihal keinginan saya untuk menikahi Vanya. Dan itu tidak menjadi masalah untuk mereka. Hanya saja mereka meminta agar Vanya bisa ikut tinggal bersama saya di Amerika setelah urusan saya di Indonesia selesai."

Vanya memelototkan matanya kearah Rionard, dirinya terkejut soal dirinya yang harus tinggal di Amerika.

"Amerika, dimana?" tanya Helmi.

"Los Angeles."

Helmi terdiam mendengar perkataan Rionard. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu.

"Ayah, kenapa?"

Helmi menoleh kearah Vanya dan tersenyum. "Ayah hanya teringat seseorang."

"Maaf om, atas kelancangan saya bertanya. Apa orang itu ibu Vanya?"

"Saya hanya tahu dia tinggal di Amerika. Tepatnya saya tidak tahu."

"Ibu Vanya tinggal di Montana. Tapi sebelum saya kesini saya mendapat informasi jika ibu Vanya sudah lama kembali ke Indonesia."

"Ibu ada disini?" tanya Vanya dan dibalas anggukan dari Rionard.

Helmi mengepalkan sebelah tangannya diatas meja. "Semoga Tuhan mengijinkan kita bertemu lagi."


***


15/09/19

My Adult Senior (Complete) Where stories live. Discover now