BAB VIII Bala Bantuan 4

240 20 0
                                    

Tombak api berpendar lebih terang. Lama kelamaan sinarnya membesar dan bergulung menjadi satu dengan pusaran angin hitam.

Bumm! Tombak api meledak. Pancaran tenaganya memporak – porandakan angin puting beliung. Serangan Abire berhasil dipatahkan.

Peluh membanjiri tubuh eyang Badranaya. Serangan yang baru saja di kerahkan memerlukan stamina yang besar. Napasnya berhembus cepat.

Namun, tidak ada waktu untuk beristirahat. Abire sudah melesat kearahnya untuk menyerang. Serangan kalap Abire dilancarkan karena usahnya digagalkan. Tinju berlapis asap hitam dipersiapkan untuk menghajar lawannya.

Melihat serangan datang, eyang Badranaya mempersiapkan diri. Aliran tenaga dipusatkan di area tangan kanannya. Sinar kemerahan menyelubungi tangan kanan yang penuh tenaga.

Hiyaaa..! Eyang Badranaya pun melesat menyambut serangan Abire.

Bum! Bleng! Dua tinju penuh tenaga saling beradu. Pancaran tenaganya menimbulkan getaran di dataran Kureta. Tanah dan debu terlontar keatas memenuhi udara bercampur dengan asap hitam, hingga menutupi pandangan. Lalu hening.

Para prajurit kedua pihak penasaran dengan apa yang terjadi ditengah – tengan dataran luas Kureta. Mereka tidak bisa melihat kedua orang yang sedang bertarung karena tertutup debu dan asap.

Wusssss.. Angin kencang berhembus dari utara ke arah selatan. Debu dan asap hitam pun terbawa aliran angin menjauh dari dataran luas Kureta.

Suasana hening terus berlanjut, tidak ada suara pertempuran. Yang ada hanya eyang Badraniya terlihat duduk bersila melakukan semedi. Sedangkan Abire tidak terlihat ditempat itu, pancaran tenaganya juga tidak terasa.

"Eyang!" Satera berseru. Ia lalu menghambur kerah pemimpinnya yang sedang duduk. Para petinggi yang lain pun mengikutinya.

Berbeda di pihak Tamisra, mereka masih terdiam dan bingung. Pemimpin mereka yang tidak terlihat menimbulkan tanda tanya.

"Bagaimana ini?" Iputini memecah keheningan. "Dimana tuan Abire?"

"Entahlah, tenaganya tidak terasa." Ujar Dawuya. "Cepat periksa sekitar wilayah ini." Dawuya segera mengalirkan tenaga keseluruh Dataran kureta. Iputini dan Gallam segera melakukan hal yang sama. Namum nihil. Tanda – tanda keberadaan Abire tidak terasa.

"Apa artinya kita kalah?" Gallam berujar pelan.

"Keparat." Dawuya mengumpat pelan

Lep. Tiba – tiba suasana berubah gelap dengan seketika. Waktu memang sudah sore, namun gelap yang datang bukan karena datangnya sore hari. Langit yang masih terang tiba – tiba menghitam. Kabut tipis berwarna hitam sedikit – demi sedikit memenuhi dataran kureta.

"Ahh."

"Kulitku perih."

"Sakit sekali."

Teriakan – teriakan pelan dari para prajurit yang berilmu rendah terlontar di pihak Tamisra maupun Sandya. Mereka kebingungan dengan apa yang sedang dialaminya.

"Ah perih sekali." Uja Khamsu.

"Ada apa Kham?" Sanggala bertanya sambil terus mengalirkan tenaga pengobatan kepada Dalik.

"Entahlah tuan, kulit saya terasa perih." Khamsu memperhatikan seluruh tubuhnya.

"AMAHKRA." Raut muka eyang Badranaya seketika berubah. Ia lalu berdiri, diikuti para petinggi Sandya yang mengitarinya.

"Ada apa eyang?" Satera merasa heran.

"Kembali ke garis belakang. Lindungi para prajurit. Cepat!!" Seketika para petinggi Sandya melesat ke agris belakang.

Sementara itu, kabut hitam semakin pekat. Prajurit – prajurit yang kesakitan semakin banyak.

"Semua prajurit berkumpul merapat! Keluarkan jurus pertahanan diri." Jatinala memberi perintah. Prajuritpun merapatkan diri dan merapal jurus. "Para petinggi yang lain menyebar, lindungi prajurit dengan Kacapuri." Seketika para petinggi mengatur posisi menyebar mengitari para prajurit.

"Nyai ratu mari ikut saya ke atas panggung." Satera mempersilahkan ratu pantai selatan untuk menaiki panggung pengawas. Kondisinya yang sudah stabil, membuat ratu bisa berjalan tanpa bantuan. Satera mengikuti dari belakang.

"Kacapuri." Satera merapal jurus perlindungan mengitari panggung kayu. Setelah terlindungi rasa perih di kulit Khamsu berkurang.

"Hei bocah. Aktifkan Catratyanta mu." Satera berteriak kepada Khamsu. Khamsu segera mengikuti perintah.

"Dewata yang Agung, bukankan ia sudah terkurung. Kenapa bisa sampai disini?" Ujar eyang Badranaya pelan sambil memperhatikan sekitarnya.

Kabut hitam bergerak menuju tengah – tengah medan pertempuran. Terpusat pada satu titik dan semakin lama membentuk kepulan asap hitam. Asap hitam melayang – layang tidak jauh dari eyang Badranaya.

Lalu. Busss.. Asap berubah wujud menjadi sosok makhluk hitam legam. Seukuran Abire namun tidak ada bercak warna lain pada kulitnya. Hitam seluruhnya.

"Uwahhhh." Sosok hitam merentangkan tangan kesamping, seakan sedang melenturkan otot.

"Hidup raja!"

"Hidup raja!"

Mengenali siapa yang telah datang, Para Tamisra lainnya segera bersorak gembira. Namun sosok hitam tidak mempedulikan sorakan itu.

BUMANDHALA : MENJAGA BUMI (TAMAT)Where stories live. Discover now