I.14

376 32 0
                                    

Dalik dan Khamsu melangkah santai menyusuri jalanan dusun Klayan. Lampu minyak dan obor yang dipasang warga didepan rumah masing - masing terasa sangat membantu menerangi jalan. Beberapa warga yang masih beraktifitas diluar rumah pun secara ramah menyapa keduanya. Namun ketika sudah melewati batas dusun, kondisinya sudah berbeda, hanya terlihat hutan yang lebat, gelap dan sepi. Jarak antara dusun satu dengan dusun lainya yang berjauhan, membuat tidak ada lagi penerangan lampu minyak dan obor. Tidak terlihat seorangpun warga melintas. Beruntung, bulan malam ini yang terlihat setengah cukup memberi penerangan perjalanan.

"Yakin badanmu sudah sehat? Dalik kembali mempertanyakan kondisi Khamsu.
"Sudah mbah. Rasa dingin sudah hilang. Badan saya juga lebih bertenaga dibandingkan beberapa bulan ini." Khamsu terlihat yakin.

"Syukurlah kalau memang seperti itu. Oh iya, jangan panggil saya mbah" Ujar Dalik.

"Terus saya panggilnya apa mbah." Tanya Khamsu sambil mengusap – usap keningnya dengan ujung jari tangan kanannya.

"Laah kan jangan panggil saya mbah." Dalik mengingatkan Khamsu. "Oh iya ya." Khamsu manggut – manggut. "Saya kan belum terlalu tua, panggil saja pak. Saya juga kurang tahu siapa yang memulai panggil saya dengan sebutan mbah." Dalik memberi saran. "Iya pak." Khamsu mengangguk tanda setuju sambil mengusap keningnya lagi

"Keningmu kenapa." Tanya Dalik yang memperhatikan tingkah Khamsu

"Ini, terasa denyutan dikening saya."

"Apakah sakit?"

"Tidak, hanya berdenyut saja."

Dalik menghentikan langkahnya, membuat Khamsu terpaksa berhenti melangkah. "Coba lihat keningmu." Dalik menghadap kearah Khamsu memberi isyarat supaya Khamsu mendekat dan menghadapnya. "Tenang, jangan bergerak." Dalik lalu menekan pelan kening Khamsu dengan telunjuk tangan kanannya. Khamsu pun terdiam mengikuti perintah yang ditujukan kepadanya. Beberapa detik kemudian ia merasa ada angin yang bertiup disekitar kening yang ditekan. Ia lalu melirik keatas mencoba melihat siapa yang meniup keningnya. Tidak ada apa – apa, sedangkan didepannya Dalik juga menutup mulut tidak terlihat sedang meniup. "Ya." Dalik menurunkan tangannya. "Bagaimana denyutannya."

Khamsu mencoba merasakan denyutannya. "Sudah tidak terasa."

"Bagus, sebenarnya kamu punya bakat tenaga dalam dan mata ketiga." Dalik memberi tahu. "Mata ketiga?" Khamsu kebingungan. "Ya mata ketiga, disebut juga mata batin. Sepertinya tadi ingin terbuka, tapi belum bisa, hingga membuat keningmu berdenyut. Dan sekarang saya sudah membuka mata ketigamu." Dalik menjelaskan lagi.

"Kegunaannya untuk apa?" Tanya Khamsu. "Kegunaan mata ini adalah untuk melihat hal – hal gaib." Terang Dalik. "Hal gaib seperti apa?" Khamsu kembali bertanya.

"Coba kamu lihat pohon randu dibelakangmu untuk lebih jelas." Sambil memutar tubuh Khamsu supaya menghadap kearah pohon randu besar dibelakangnya. Khamsu pun melihat kearah pohon randu yang hanya satu – satunya didekat tempat itu. Sementara Dalik merangkul pundak Khamsu dengan tangan kiri.

Blug! Tiba tiba sebuah benda putih seukuran manusia melompat, muncul dari belakang pohon randu. Benda putih tersebut terlihat bergerak – gerak dibagian atasnya. Tak butuh waktu lama buat Khamsu untuk mengenali benda putih yang dilihatnya. "Po poccong." Khamsu takut setengah mati, seketika ia mencoba membalikkan badan kebelakang. Belum sempat membalikkan badan, tangan Dalik yang merangkul menahan tubuh Khamsu dengan kencang supaya tetap ditempat.

"Ampuun pak,takutt.." Khamsu hanya bisa menutupi matanya dengan tangan dan menunduk, karena tubuhnya ditahan supaya tak bergerak.    

BUMANDHALA : MENJAGA BUMI (TAMAT)Where stories live. Discover now