BAB VIII Bala Bantuan 1

252 19 0
                                    

Wajah – wajah lesu dan lelah prajurit Sandya sangat jelas terlihat di pagi hari ini. Walau sudah memanfatkan malam untuk beristirahat, namun terasa masih kurang. Meski begitu, dengan datangnya mentari pagi, berarti waktu istirahat sudah selesai. Sudah saatnya kembali bertugas di medan peperangan.

"Prajurit bersiap!" Jatinala mulai memberi aba – aba. Para prajurit pun merapikan barisan. "Saya memahami, kebugaran tubuh kita kurang menguntungkan untuk berperang hari ini. Tapi apa boleh buat. Musuh sudah bersiap turun ke medan laga, dan kita tidak mungkin menghindarinya. Kita adalah harapan ketentraman alam ini. Kita adalah garda terdepan menumpas ambisi busuk Tamisra!" Nada suara Jatinala semakin meninggi. Berharap dapat memompa semangat para prajurit.

"Jika perlawanan kita berakhir disini, maka dapat dipastikan, saudara – saudara kita, anak cucu kita, akan mengalami penindasan dan pembantaian. Siapkan tenaga kita, siapkan senjata kita. Kita hancurkan musuh. PRAJURIT BERSIAAPP!!" Teriakan Jatinala terdengar sangat keras seakan menembus langit.

"SIIAAPP!!" Seluruh prajurit membalas aba – aba komandannya bersamaan. Teriakan Jatinala membakar tekad perang para prajurit.

Dung..dung..dung. Genderang perang kedua pihak sudah ditabuh. Para prajurit sudah berbaris saling berhadap – hadapan. Jumlah yang tidak seimbang jelas sekali terlihat diantara mereka.

Kali ini Dalik berada di barisan terdepan. Selain karena pasukan yang kalah jumlah. Ia merasa sangat bersalah dengan hilangnya senjata pusaka. Maka ia ingin menebus kesalahan itu dengan ikut langsung terjun kemedan perang. Selain Dalik, para Mancaran juga bersiap di garis depan.

"Seraaanng!" Gallam memberi aba – aba di pihak Tamisra.

"Majuuu!" Jatinala pun tidak kalah lantang.

Kedua belah pihak maju untuk saling serang. Dalik, Jatinala dan para Mancaran melompat saling menjauh. Mereka mencari tempat bertarung sendiri – sendiri.

Dengan kesaktian yang dimiliki, para petinggi Sandya sudah berhasil menumpas banyak sekali prajurit lawan dalam waktu singkat. Belum sampai tengah hari, prajurit Tamisra sudah berkurang drastis. Hal ini tentu membuat Abire gusar. Maka ia pun memerintahkan para makhluk – makhluk Tamisra untuk ikut maju berperang.

Gelombang kedua prajurit pihak Tamisra memasuki medan laga. Makhluk – makhluk berkulit hitam legam mulai menunjukkan kesaktian mereka.

Rencana Abire menampakan hasil memuaskan. Pertarungan menjadi lebih imbang. Bahkan mendekati tengah hari, pihak Sandya mulai kewalahan mengimbangi musuhnya. Jumlah prajurit Tamisra yang melimpah dan jumlah prajurit Sandya yang sedikit dan kelelahan semakin tidak menguntungkan.

Para petinggi Sandya menghadapi lawan yang tangguh. Hal itu membuat mereka tidak seleluasa sebelumnya yang dapat menghabisi lawannya dengan mudah.

Eyang Badranaya yang akan maju setelah tengah hari sesuai dengan rencana, merasa tidak sabar melihat kondisi di garis depan. Sedangkan, Khamsu yang berada disampingnya hanya diam menyaksikan peperangan didepanya. Ia merasa tidak mampu memberikan bantuan apa – apa.

Setelah beberapa saat, Badranaya hendak turun dari panggung kayu untuk ikut bergabung dengan rekan – rekannya.

Wusssss. Tiba – tiba angin berhembus lebih kencang didataran Kureta. Lalu, deburan ombak terdengar dari kejauhan dan semakin mendekat. Hal itu membuat Eyang Badranaya keheranan dan menghentikan langkahnya. Ia pun memandang sekeliling mencari sumber suara itu. Sangat aneh, karena dataran Kureta letaknya sangat jauh dari pantai. Namun tidak berselang lama ia tersenyum. Ia mengetahui siapa yang telah datang.

Byurrrr. Suara ombak terdengar keras dan menghilang. Bersamaan dengan munculnya kedatangan rombongan orang – orang yang belum begitu jelas terlihat karena terhalang kabut dari arah timur. Setelah kabut menghilang dan rombongan semakin dekat, nampaklah makhluk – makhluk gaib berbentuk hewan laut yang dipimpin langsung oleh Ratu pantai selatan. Ia melayang pelan seirama dengan derap langkah para prajuritnya. Semakin dekat, jumlah pasukan laut selatan terlihat semakin banyak jumlahnya.

Melihat hal itu, eyang Badranaya merasa bersyukur. Bala bantuan telah datang.

Ratu pantai selata terus mendekat. Mereka melewati tenda – tenda pasukan Sandya. Hingga didekat panggung kayu, sang Ratu berhenti, diikuti oleh pasukannya.

"Mohon maaf kakang Badra, kami terlambat datang." Ucap Ratu.

Eyang Badraniya berjalan menuruni anak tangga kayu. "Tidak apa – apa nyai Kirana. Kami sangat berterima kasih atas bantuan yang nyai berikan." Eyang Badranaya sudah berhadapan dengan Kirana atau Ratu pantai selatan.

Lalu ia memanggil prajurit pemegang genderang untuk mendekat. "Kamu, sebarkan berita kegaris depan. Pasukan laut selatan akan ikut berperang dari arah belakang." Perintah Eyang Badranaya. "Siap." Prajurit bergegas mematuhi perintah.

"Seganten." Nyai Ratu memanggil prajuritnya.

"Siap." Seganten segera mendekat kearah Ratunya.

"Pimpin pasukan untuk maju kemedan perang, bantu pihak Sandya."

Seganten mundur beberapa langkah, lalu mengeluarkan terompet terbuat dari kerang. Ia meniupnya untuk memberi aba – aba kepada prajurit untuk bergerak maju.

Lebih dari seribu prajurit laut selatan berjalan menuju medan perang.

"Pasukan apa itu?" Abire merasa penasaran dengan pergerakan prajurit musuh dalam jumlah besar. "Dawuya, periksa siapa mereka."

"Baik." Dawuya melesat mendekat arena peperangan dengan sangat cepat.

"Seraaangng!" Seganten berteriak lantang.

Pasukan laut selatan membaur dalam peperangan membantu pihak Sandya. Makhluk – makhluk alam gaib itu segera mengeluarkan kesaktian masing – masing. Bala bantuan yang datang membuat tekad perang prajurit Sandya semakin meningkat.

"Bantuan sudah datang. Seraangng!" Jatinala tidak kalah lantang.

Pertarungan yang sebelunya imbang, kini berubah. Datangnya bantuan di pihak lawan membuat pihak Tamisra kewalahan. Kesaktian prajurit laut selatan tidak bisa dianggap remeh.

"Lapor tuan." Dawuya sudah kembali dari garis depan.

"Siapa mereka?"

"Mereka merupakan pasukan dari kerajaan pantai selatan. Dipimpin oleh Ratunya."

"Keparat! Blajag, Maju ke medan perang!" Abire memberi perintah

"Siap." Blajag segera melesat ke medang peperangan.

Bleng. Bleng. Setelah memasuki medan perang Blajag langsung mengamuk. Lontaran – lontaran tenaga dalamnya yang berkekuatan tinggi dilancarkan membabi buta kearah prajurit – prajurit lawan. Dalam waktu singkat, hampir seratus prajurit gabungan Sandya tewas.

Melihat kedatangan lawan yang tangguh, Dalik segera menghadangnya.

"Aku lawanmu." Dalik melancarkan serangan bola sinar biru kearah Blajag.

Bleng. Serangan Dalik dengan mudah di atasi.

"Kerahkan kemampuanmu." Blajag melesat kearah Dalik. Yang dikejar segera melesat cepat menjauh dari arena peperangan. 'Pengecut. Mau lari kemana hah!" Blajag terus mengejar.

Setelah agak ajuh dari keramaian. "Tenang saja, aku tidak akan melarikan diri." Dalik menghentikan langkahnya. "Kita cari tempat yang nyaman."

"Hahaha bagus. Nyaman untuk kuburanmu. Hiaa." Blajag melompat menyerang lawannya. Pukulan penuh tenaga dalam dilancarkan kearah kepala. Wut. Wut. Dengan mudah Dalik menghindari pukulan tersebut. Dengan cepat, Dalik membalas dengan tendangan kaki kanannya. Namun gagal, Blajag bersalto satu kali kebelakang. Saling serang dan saling menghindar dilakukan keduanya untuk memperoleh kemenangan.

Bukk. "Ahhkk." Dalik terpental kebelakang, Perutnya terkena pukulan, tidak telak, tetapi lumayan menyakitkan. "Haaaahhh." Dalik meningkatkan Padnumaya nya. Pancaran tenaga miliknya terasa menyebar liar mengitari tubuhnya.

BUMANDHALA : MENJAGA BUMI (TAMAT)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon