Patah dan Terluka 4

281 18 0
                                    

"Hufff haahhh." Abire menarik napas panjang dengan raut muka gembira. "Udara pagi dan alam bebas memang segar sekali untuk dinikmati, hahahaha." Bersama Iputini dan rekan – rekan lainnya, Abire berjalan keluar dari tempat persembunyiannya selama ribuan tahun. Tembok gaib yang dibuat untuk menyembunyikan keberadaannya sudah dihilangkan. Ia berani melakukan itu karena merasa sudah aman dari ancaman. Diluar tempat persembunyian, tidak kurang dari enam puluh makhluk Tamisra sudah menunggu kedatangan Abire. Ratusan lainnya, gabungan makhluk gaib dan manusia sudah berkumpul ditempat itu terpisah dari para Tamisra. Marati dan Tansa juga nampak ikut diantara makhluk yang ada ditempat itu. Sebuah dataran yang luas dikelilingi tebing batu menjadi markas Tamisra dan sekutunya membangun kekuatan. Berhembusnya kabar bahwa pusaka Bumandhala telah patah rupanya sudah menyebar dengan cepat.

Terlihat Gallam menghampiri Abire. "Tuan, kapan kita akan melakukan penyerangan?"

"Hahaha tidak usah terburu – buru Lam, aku ingin menikmati alam yang tenang ini terlebih dahulu. Sebelum aku buat porak poranda hahahaha. Kerjamu bagus menempatkan Polot disana Lam hahahah "

"Terimakasih tuan, tapi ... lebih cepat kita.."

"Saya tahu apa yang harus dilakukan!" Abire memotong ucapan Gallam. "Banyak kaum kita yang bersembunyi ribuan tahun menunggu untuk bisa bergerak bebas, termasuk saya. Dan sekarang datang kesempatan itu, biarkan mereka menikmatinya. Lagipula Bumandhala sudah hancur, apalagi yang mesti ditakutkan." Abire memandang tajam kearah Gallam.

"Maafkan kelancangan saya sudah mengatur tuan Abire."

"Bagus kalau kamu paham. Meski kabar terakhir bahwa Bumandhala tidak ada yang sanggup memegangnya, tapi saya lebih baik menunggu ribuan tahun untuk memastikan jika senjata itu benar - benar tidak menjadi ancaman. Kamu tahu sendiri kehebatannya kan?"

"Saya paham tuan."

"Yah, walau sangat disayangkan kita kehilangan kunci pembuka alam Tamisra, tapi ini pun sudah sangat sangat bagus, hehehe."

* * *

Aroma ketegangan terasa di markas Sandya keesokan harinya setelah kejadian di goa alam Prari. Menjelang siang, murid – murid dikumpulkan dilapangan latihan bersama para petinggi Sandya. Eyang Badranaya duduk disebuah kursi kayu didampingi Satera menghadap kearah murid dan petinggi Sandya.

"Keadaan sedang genting." Eyang Badranaya memulai pembicaraan. Suaranya yang tenang namun penuh wibawa terdengar jelas. "Para Tamisra dan sekutunya dalam jumlah yang sangat besar sedang bersiap menuju tempat ini untuk melakukan penyerangan. Mereka ingin mengancurkan Sandya karena selalu menghalangi rencana mereka menguasai alam ini. Terutama sekali mereka ingin membunuh saya yang dari awal sudah menggagalkan usaha mereka. Dan apabila Sandya dapat dihancurkan, maka, ambisi mereka yang tertunda akan dipastikan terwujud. Dan jika itu terwujud, maka tidak ada lagi tempat yang nyaman untuk tinggal dan hidup di alam ini. Saya sudah memanggil para anggota Sandya yang berada di kerajaan manca untuk membantu peperangan ini. Selain itu, pihak kerajaan Kastaranagara juga sudah bersiap mengirim pasukannya untuk ikut membantu menghadapi lawan kita. Akan tetapi, perang tetaplah perang. Banyak pengorbanan yang akan menyertai perjalanan kita nanti, terutama pengorbanan nyawa. Maka dari itu, bagi yang belum siap ikut serta dalam peperangan ini dipersilahkan untuk mengundurkan diri saat ini juga." Eyang Badranaya berhenti berbicara sesaat, memberi kesempatan kepada yang ingin mengundurkan diri. Sedangkan para murid kebingungan dan saling berbicara diantara mereka. Setelah ditunggu beberapa saat ada enam murid yang memisahkan diri dari barisan. Mereka terlihat tertunduk ketakutan.

"Tidak mengapa, apa ada lagi yang ingin mengundurkan diri? Tidak ada paksaan bagi yang ikut bergabung, juga tidak ada hukuman bagi yang tidak ikut." Pilihan kembali ditegaskan kepada seluruh yang ada ditempat itu.

BUMANDHALA : MENJAGA BUMI (TAMAT)Where stories live. Discover now