Memperbaiki Bumandhala 2

273 17 0
                                    

Kaspa dan Istana Basukaiswaran

Setelah melewati tengah malam, Dalik dan Khamsu sampai di puncak gunung Widar. Mereka berhenti didepan sebuah pondokan sederhana terbuat dari kayu. Keduanya turun dari hewan gaib tunggangan, seketika hewan-hewan tersebut masuk kedalam cincin tuannya. Dalik membuka pintu gaib untuk keluar dari alam Kasepen. Setelah memasuki alam manusia pintu gaib segera tertutup.

Suasana sekitar pondok terasa hening dan sepi, hanya beberapa hewan malam terdengar dikejauhan menambah dingin hawa gunung makin terasa. Beruntung bulan malam ini hampir purnama, hingga sinarnya mengurangi muramnya malam.

"Rumah siapa ini guru?"

"Ini kediaman aki Jagilaka, ia seorang petapa sakti." Jawab Dalik, yang kemudian memberi isyarat kepada Khamsu untuk mengikutinya mendekat kearah pondokan. Lalu Dalik mengetuk pelan pintunya.

"Masuk." terdengar suara khas laki-laki yang sudah berumur.

Dalik membuka pintu dan masuk kedalam pondokan diikuti Khamsu.

Didalam pondok ternyata terlihat terang tidak seperti terlihat dari luar. Kristal – kristal putih memantulkan cahaya api dari lampu minyak. Seorang kakek bertubuh kurus memakai baju serba putih berdiri sambil menuang air minum. Kepulan uap panas terlihat ketika air minum keluar dari teko menuju cangkir – cangkir tanah liat yang ada diatas meja. Keriput terlihat jelas dilengan dan wajah yang tidak tertutup pakaian. Rambutnya yang putih masih nampak lebat walau sebagian tertutup ikat kepala. Namun dari dalam tubuhnya memancar kesan yang penuh wibawa.

"Silahkan duduk." kata kakek petapa sambil menunjuk kearah dua bangku terbuat dari kayu yang ada didepan dirinya.

"Terimakasih." jawab Khamsu dan Dalik hampir berbarengan kemudian mereka duduk.

"Silahkan diminum, untuk menyingkirkan dingin udara gunung. Maaf seadanya untuk menjamu tamu jauh." kakek petapa menggeser kedua cangkir kearah Dalik dan Khamsu lalu duduk menghadap tamunya.

"Tidak ada yang lebih segar dari air mata air gunung widar." jawab Dalik sambil mengangkat cangkir dan menyeruput airnya pelan begitu pula Khamsu.

Setelah kedua tamunya selesai minum, kakek petapa mengambil kotak kayu kecil sepanjang sepuluh centi yang berada di meja kecil sebelah kirinya.

"Aku sudah menerima pesan dari kakang Badranaya. Ini, terimalah. Saya yakin waktu kalian tidak banyak." Aki Jagilaka menyodorkan kotak kayu sambil membuka tutupnya untuk memperlihatkan kepada Dalik yang langsung menerima dan menaruh diatas meja didepannya. Khamsu memperhatikan isi dalam kotak kayu, ia hanya melihat selembar kain putih selebar lima centi persegi.

"Dimana besinya guru, kok isinya kain?" tanya Khamsu sedikit pelan.

"Besi apa?" jawab Dalik memandang kearah Khamsu heran.

"Besi Kaspa, bahan penyambung keris."

Petapa Jagilaka terkekeh mendengar ucapan Khamsu, Dalik pun ikut tertawa.

"Coba kamu ambil kain itu hehehe." Aki Jagilaka menyuruh Khamsu untuk mengambil Kaspa.

Khamsu mengangguk dan mengambil Kaspa dengan tangan kanannya. Lalu Khamsu memperhatikan kotak kayu siapa tahu dibawah kain bernama Kaspa ada besi atau semacamnya sebagai bahan tempa. Namun dirinya tidak menemukan apa-apa didalam kotak kayu selain benda yang dipegangnya. Lalu diperhatikannya kain yang dipegang yang ternyata terasa kenyal. Ia pun meremas-remas benda tersebut, dan memang kenyal seperti karet.

"Kain kok berasa seperti karet." Khamsu membatin

Lalu benda kenyal bernama Kaspa dipegang dengan kedua tangannya, dan dibentangkan. ternyata benda tersebut dapat melar sepanjang tarikan tangan Khamsu.

BUMANDHALA : MENJAGA BUMI (TAMAT)Where stories live. Discover now