BAB. VI Memperbaiki Bumandhala 2.C

264 19 0
                                    

Pantai Selatan

"Ada perlu apa kalian kesini?" Eyang Badranaya bertanya kepada dua ekor ular besar yang masih menunduk. Ia mengenali kristal biru yang ada di kepala kedua ular didepannya. "Mohon maaf mengganggu perjalanan anda. Kami berdua diutus kanjeng ratu Sarpakanila untuk membantu peperangan. Nama saya Demungjaya dan teman saya, Sawertarana." ular berwarna hijau memberitahu maksud kedatangan mereka dan memperkenalkan diri. Eyang Badranaya menganggukkan kepala beberapa kali. "Ayo." Eyang Badranaya memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan. Rombongan pun kembali bejalan diikuti oleh Demungjaya dan Sawertarana di kanan dan kiri barisan.

Sareta yang mendapat laporan bahwa rombongan eyang Badranaya sudah mendekat segera bersiap untuk menyambutnya. Dengan tarikan napas kecil, pintu gaib alam Kasepen segera terbuka didepannya. Tumpakan harimau putih belang dihentak untuk segera melesat memasuki alam Kasepen dan menuju kearah eyang Badranaya. Setelah beberapa saat, dikejauhan terlihat rombongan berjumlah besra berjalan beriringan. Sareta kemudian memacu Tumpakannya lebih cepat.

Setelah berjara cukup dekat, Satera segera menyuruh harimau putih belangnya untuk memelankan langkah. Dengan langkah Tumpakan pelan, Satera lalu mendekat kesamping eyang Badranaya dengan sesaat memperhatikan ular besar dikanan dan kiri rombongan.

"Selamat datang eyang." Sareta memberi salam.

"Ya ya. Bagaimana kondisi disana." Eyang Badranaya balik bertanya tanpa menghentikan rombongan. "Musuh sudah tiba dan bersiap – siap. Peperangan akan di mulai besok pagi dan mereka menyetujui syarat yang diajukan oleh anda." Sareta memberikan laporan.

"Hmm bagus. Saya kira pasukan kita akan punya waktu yang cukup untuk beristirahat."

* * *

Titik sinar berwarna kuning terlihat dari arah istana pantai selatan. Lama – kelamaan sinar itu terlihat membesar bergerak kearah daratan menyusuri jalan penghubung kearah gapura istana. Khamsu dan Dalik memperhatikan pergerakan siar kuning tersebut.

"Bagus, akhirnya keluar juga." Dalik bergumam pelan.

"Siapa guru?"Khamsu langsung bertanya begitu mendengar gurunya berbicara.

"Kamu perhatikan sinar kuning dari arah istana itu. Nanti kamu akan mengetahuinya." Jawab Dalik.

Setelah semakin dekat kearah daratan, sinar kuning terlihat lebih jelas. Ternyata, sinar itu berupa sebuah kereta kencana yang ditarik dua ekor kuda. Disamping kanan kirinya masing - masing nampak dua orang perempuan memakai kebaya hijau muda dan kain batik hijau mengikuti laju kereta kencana. Kereta kencana terus berjalan melewati gapura menuju kearah Dalik dan Khamsu berada. Hingga mendekati bukit, lalu kereta kencana berbelok kearah kanan menuju katas bukit dengan kecepatan sedang.

Kereta kencana terlihat indah dengan ukiran menarik terbuat dari emas. Kuda penariknya pun terlihat gagah berwarna emas berpendar. Ternyata, empat orang perempuan pengiring kereta kencana dalam posisi berdiri tetapi melayang diudara. Tidak hanya empat perempuan tersebut, kereta kuda dan kudanya terlihat melayang rendah diatas pasir laut. Meskipun begitu, suara derap langkah kuda dan gemerutuk suara roda kereta terdengar jelas.

Sekilas nampak dari dalam kereta sesosok wanita cantik berpakaian kebaya berwarna serba emas. Rambutnya yang disanggul juga berhiaskan perhiasan dari emas. Setelah melewati bukit, kererta kencana dan pengiringnya tidak nampak lagi hanya meninggalkan bau harum melati yang terbawa angin. Khamsu terlihat akan berdiri untuk melihat kemana kereta kencana itu pergi, akan tetapi pundaknya ditahan oleh Dalik untuk tetap duduk. Maka Khamsu pun mengurungkan niatnya dan kembali duduk.

"Karacandra sebenarnya ritual apa guru, kenapa penting sekali?" Khamsu mengajukan pertanyaan.

"Ritual ini dilakukan satu tahun sekali pada waktu bulan purnama, pada awal pergantian tahun. Karacandra merupakan sebuah ritual mandi cahaya bulan purnama oleh kanjeng ratu untuk menambah kesaktian serta kecantikan."

BUMANDHALA : MENJAGA BUMI (TAMAT)Where stories live. Discover now