Epilogue

129 7 2
                                    

"Udah siap?" Alvaro menatap pacarnya dengan senyum. Baru kali ini ia melihat Anna mengenakan pakaian ala-ala perempuan dengan make up natural. Membuat dada Alvaro bergejolak dengan hebatnya.

"Kita mau kemana?" Anna mengucek-ucek matanya sambil sesekali menguap. Kantuk masih menempel di wajahnya.

"Kemana-mana asal sama kamu." Gombalan dari Alvaro hanya mendapatkan sebuah pukulan dari Anna. 

"Yang benar, dong." Anna menatap Alvaro dengan kesal. "Gara-gara kamu aku jadi bangun pagi ini."

"Ah, so sweetnya pacar aku," katanya dengan mencubit kedua pipi Anna gemas.

Anna yang dicubit pun berusaha melepaskan dengan memukul tangan Alvaro berkali-kali. "Lephashin dong."

"Ngomong yang benar, dong."

"Akhu udah nghomong benal ini." Anna menarik tangan Alvaro dengan kuat. Membuat Alvaro melepaskan cubitan tersebut sambil mengulas senyum.

"Sakit tahu." Anna mengusap-usap pipinya yang perih akan cubitan dari Alvaro.

Alvaro yang merasa kasihan pun mendekat ke arah Anna. Mengulurkan tangannya lalu mengusap lembut pipi Anna. "Ututu kacian..."

Karena wajah Alvaro terlalu dekat, Anna pun segera memalingkan wajahnya ke samping. Tangan Alvaro pun berhenti di udara begitu saja.

"Kenapa, Na?"

"Nggak papa. Udah, ayo jalan." Anna berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Namun sayang, Alvaro tidak mempan dengan itu.

"Pipi lo merah, ya?"

Anna menoleh dengan mata melotot. "Enak aja ngatain pipi aku merah."

"Lah, itu buktinya." Alvaro menunjuk pada dua pipi Anna yang bersemu merah. 

Anna kembali memalingkan wajahnya sambil mengelak dengan keras. "Enggak!"

"Iya."

"Enggak!"

"Iya."

"Enggak!"

"Iya sayang."

Seketika Anna menoleh dengan wajah yang terlihat bersemu merah. Alvaro yang melihat hanya bisa menahan senyum, lalu mengacak-acak rambut Anna. 

"Pipi kamu merah, tuh."

Selanjutnya, Alvaro menjalankan mobilnya menuju ke tempat tujuan. Bersama banyaknya kendaraan yang juga melaju di jalanan.

****

Setelah menempuh waktu tiga jam lamanya, akhirnya mobil yang mereka tumpangi sampai di tempat tujuan. Alvaro segera parkir di tempat yang kosong. Iya, mereka akan menghabiskan waktu weekend dengan mendatangi wahana bermain.

Seusai mematikan mesin, Alvaro turun lebih dulu dan berjalan ke samping guna membukakan pintu untuk Anna.

"Silakan tuan putri."

"Nama aku bukan tuan putri." Anna bergegas turun dan berjalan cepat meninggalkan Alvaro. Sedangkan Alvaro hanya bisa menggeleng lalu menyusulnya.

Sebelum masuk ke dalam, Anna membeli tiket terlebih dahulu dan ikut mengantri bersama pengunjung lain di loket. Alvaro yang melihat Anna segera menghampirinya dan berdiri di samping.

Sepanjang mengantri, Alvaro merasa bahwa banyak kelompok perempuan yang sama-sama mengantri, menunjuk-nunjuk dan membicarakannya. Namun Alvaro berusaha untuk biasa aja.

"Anna," panggil Alvaro yang tiba-tiba mendapatkan ide. Yang di panggil menjawab dengan gumaman.

"Masa daritadi..." Alvaro tahu bahwa Anna mulai bereaksi ketika menoleh padanya dengan cepat. "Aku di lihatin sama cewek-cewek."

"Bodo amat," jawab Anna cuek dengan memalingkan wajahnya. Tangannya yang berada di samping pun berubah menjadi melipat di depan dada. Wajahnya pun berubah menjadi benar-benar masam. 

Alvaro tahu bahwa pacarnya sedang cemburu. Tetapi berusaha untuk tidak peduli.

"Kamu marah, ya?"

"Nggak."

"Masa? Kala marah, mah, bilang aja marah. Nggak usah pakai di tutup-tutupin segala." Tangan Alvaro ikut melipat di depan dada. Menatap Anna dengan tersenyum. "Atau jangan-jangan kamu cemburu?"

Aku tuh nggak cemburu."

"Kalau gitu tatap wajah aku sekarang. Buktiin kalau kamu nggak cemburu." Alvaro tahu bahwa tantangannya akan membuat Anna berhasil mengaku. "Dalam hitungan ketiga, kalau kamu nggak natap aku, berarti kamu cemburu."

Sambil tersenyum, Alvaro mulai menghitung. "Satu."

"Dua."

"Ti--"

"Apaan, sih?" Anna menatap Alvaro dengan wajah merah macam tomat matang. "Aku nggak marah, tapi..."

"...cemburu."

Tawa Alvaro berderai begitu saja. Sedangkan Anna segera berjalan untuk membeli tiket dan masuk ke dalam. Meninggalkan Alvaro yang mulai mengikuti dengan memegang perutnya.

"Tungguin, dong, sayang."

"Nggak usah panggil sayang-sayang segala," jawab Anna sadis.

"Jangan bentak-bentak, dong, sayang." Alvaro semakin gencar untuk menggoda Anna.

Sudah hampir satu tahu mereka menjalin hubungan. Akan tetapi, hingga sekarang, jika Anna di panggil dengan sebutan 'sayang' oleh Alvaro. Pasti dia akan mencak-mencak yang disertai dengan salah tingkah.

Jadi, Alvaro selalu suka untuk menggoda Anna dengan panggilan 'sayang'.

"Sayang, tungguin."

"Apaan, sih," gerutu Anna dengan sendirinya. "Diem bisa nggak?!"

Alvaro menekuk wajahnya. "Ih, kok kamu jahat banget sama aku. Gimana kalau aku pindah ke lain hati?"

"Gue bunuh lo seketika!"

Lalu Anna berjalan cepat, meninggalkan Alvaro yang tertawa di belakang. "Ya Allah, pacar aku cemburu."

"Berisik."

Alvaro memeluk Anna dengan gemas. "Sayang Anna." Anna yang di dalam hanya bisa diam dengan menahan senyum. 

Kehidupan terus berlanjut seiring berjalannya waktu. Baik Anna, Alvaro, Vino, Keano, dan manusia lainnya pasti akan menemukan kebahagiaannya masing-masing.

Tidak pernah ada yang menduga jika semuanya akan berakhir dengan mulus. Namun, perjalanan mereka tidak berhenti sampai sini saja. Masih banyak halang serta rintangan yang harus di lalui.

Dan sebagai manusia, mereka hanya bisa menerima takdir dengan bahagia. Tanpa ada rasa beban ataupun rasa tidak enak. Karena hidup hanya sekali, maka nikmatilah setiap waktu kehidupan kalian. Dalam detik, menit, maupun jamnya. 

****





About Time ✔Where stories live. Discover now