39

268 44 7
                                    

Vino menghilangkan sihir pelindungnya setelah melihat Okta juga telah berhenti untuk menghilangkan sihir pada Nadila.

"A-ayah.. Nadila ku masih hidup kan? A-ku sudah berjanji untuk menjadikannya Ratu." ucap Stephan.

Vino tidak menjawab. Ia sendiri tidak mengetahui, apakah Nadila masih hidup atau tidak.

Stephan berjalan dengan segala tenaga yang ia miliki. Impian nya seakan sirna ketika melihat Nadila terjatuh dan memejamkan matanya.

Stephan berlutut disamping tubuh Nadila.

"Bangun. Kamu belum menghukumku, karena tidak bisa menjaga ibu mu dengan baik. A-aku belum sekuat Ayah ataupun Papa. Aku.. Aku membutuhkanmu. Kak Ravien, dia punya Kak Sinka. Papa punya Mama, Ayah punya Bunda. Lalu, aku sama siapa kalau kamu pergi?" Stephan menggenggam tangan Nadila.

Tangan gadis itu terasa dingin dalam genggamannya. Stephan membuka bajunya lalu ia gunakan untuk membungkus tangan Nadila. Ia berharap itu bisa menghangatkan tangan kekasihnya.

"Stephan.." lirih Okta. Ia bisa melihat beberapa luka memar di tubuh anaknya itu.

"Dia terlalu bersemangat tadi. Dia ingin semuanya cepat selesai. Selama pertarungan kami, dia selalu menjadikan dirinya sebagai umpan" Jelas Ravien.

Okta memejamkan matanya. Sekarang ia semakin merasa bersalah pada anaknya. Tapi, ia juga tidak bisa mengabaikan peraturan kerajaan.

"Aku.. Aku ini akan jadi panglima terkuat. Jangan buat aku terlihat lemah, karena menangis disini. Aku mohon bangun" Ucap Stephan lagi. Ia terus menunduk.

Stephan terus menundukkan kepalanya sambil menangis, seperti anak yang ditinggal pergi oleh Ibunya.

"Panglima, dia.." Okta terkejut ketika rantai sihir yang berada di punggung nya itu kembali bereaksi.

"Minggir Nak, dia masih hidup." Ucap Vino. Ia langsung mengeluarkan api biru ditangannya lalu didekatkan pada bagian dada Nadila.

"Semoga ini berhasil" Gumam Vino.

"Hapus airmata mu Panglima kecil. Kau membuatku malu, berhentilah menangis. Dia akan selamat." Ucap Ravien. Dengan patuh, Stephan pun segera menghapus airmatanya. Ia tersenyum tipis lalu berdiri disamping Ravien.

"Pakai ini" Okta melepaskan jubah nya lalu memakaikannya pada Stephan.

"Mama mu akan membunuh Papa jika melihat lukamu itu." Ucap Okta tanpa melihat kearah Stephan.

"Maaf, Sayang. Aku udah liat" Okta berusaha untuk tetap tenang. Meski ia merasakan sakit di perutnya akibat cubitan Gracia.

"Anak kita kenapa bisa luka-luka begitu?!" bisik Gracia dengan nada tajam.

"Dia laki-laki, Gre. Luka seperti itu cuma... Arrgh.. Shani tolong aku" Okta melepas paksa tangan Gracia lalu bersembunyi dibalik tubuh Shani.

"Kak, apa kita akan jadi penakut seperti Ayah dan Papa setelah menikah?" Bisik Stephan.

"Bukan. Ayah dan Papa tidak penakut. Mereka hanya terlalu mencintai Mama dan Bunda." jawab Ravien.

Stephan mengerutkan keningnya tidak mengerti. Yang ia lihat, jelas Papa nya itu takut jika Mama nya sudah marah. Begitu pun dengan Ayahnya. Ayahnya tidak pernah menolak semua permintaan Bunda nya.

"Kau akan mengerti setelah besar nanti. Menyayangi, berarti melindungi. Mencintai berarti Setia. Itu yang Ayah ajarkan dan terapkan."

"Maksudnya?"

"Menyayangi berarti melindungi. Artinya kita harus bisa melindungi orang yang kita sayangi, baik dari orang lain atau dari diri kita sendiri. Mencintai berarti Setia. Artinya, kita harus bisa menjaga perasaan kita untuk tetap Setia, hanya dengan satu pasangan. Dan itu lah yang Ayah dan Papa terapkan. Mereka menjaga Bunda dan Mama dari orang lain dan juga diri mereka sendiri. Kita semua tau, kekuatan mereka tidak terkalahkan. Jika mereka mau, memberi pelajaran pada Mama dan Bunda itu semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, mereka tidak melakukan itu karena mereka mencintai dan menyayangi Bunda dan Mama. Mengerti?" Stephan mengangguk.

Two Moon [END]Where stories live. Discover now