13

442 66 36
                                    

Ravien dan Sinka duduk di bangku yang tersedia di dekat stand ice cream tersebut.

"Kenapa kita harus ngabisin ice cream ini dulu?" tanya Sinka, padahal mereka bisa saja jalan-jalan berkeliling sambil memakan ice cream.

"Di sini lebih aman." jawab Ravien.

"Aman?"

"Kalau kita makan sambil berkeliling, kita bisa saja bertemu dengan Bunda atau Stephan."

"Lalu kenapa?"

"Jika Bunda melihatku makan ice cream, aku akan di marahi. Dan jika kita bertemu Stephan, dia akan memakan semua ice cream ku. Jadi menurutku di sini lebih aman." ucap Ravien.

"Lalu bagaimana jika Stephan menemukan kita di sini?" Tanya Sinka.

"Aku akan menyuruhnya untuk langsung membelinya sendiri." jawab Ravien sambil menunjuk stand ice cream lalu kembali memakan ice cream nya.

Sinka merasa gemas melihat sikap Ravien yang seperti itu. Terlebih saat melihat Ravien yang sangat senang bisa memakan ice cream.
"Lalu bagaimana kalau dia tetap ingin memakan ice cream mu?"

"Tidak mungkin, karena ice cream ku sudah habis." Sinka menggelengkan kepalanya, tak habis pikir.
Bagi Sinka, Ravien adalah tipe laki-laki yang sangat unik.
Dibalik wajah dinginnya, ia memiliki sikap seperti anak kecil. Dan hal itu berhasil membuat Sinka gemas padanya.

"Vien.. Bantuin aku dong."

"Bantu? Apa yang bisa ku bantu?"

"Bantu aku ngabisin ini" Sinka mengangkat cup ice cream di tangannya.

"Eh?" Sinka memakan sedikit ice cream nya, lalu menyendokkan ice cream ke arah Ravien.
Jika Sinka tidak memulai hal ini lebih dulu, maka ia yakin 100% jika Ravien akan terus diam.

"Ayo, gak apa-apa kok." Dengan perlahan Ravien memajukan wajahnya untuk menerima suapan ice cream dari Sinka.

Ravien bersumpah ice cream kali ini tak hanya enak, tapi juga bisa membuat dirinya bahagia. Apa karena Sinka yang menyuapinya?

'Apa aku harus selalu meminta Sinka menyuapiku saat ingin makan? Kenapa bisa rasanya berbeda saat aku memakannya sendiri? Padahal kami memesan rasa yang sama. Atau jangan-jangan Sinka itu...' Ravien menatap Sinka yang sedang memakan ice cream nya.

"Ayo, lagi. Aaa.." Sinka kembali menyuapi Ravien.

'Aku rasa tak apa-apa. Setelah pulang nanti, aku akan meminta tolong pada Ayah.' batin Ravien. Ia kembali menerima suapan dari Sinka.
Mereka terus seperti itu hingga ice cream milik Sinka juga habis.

"Ayo kita jalan lagi." Sinka bingung saat melihat Ravien hanya diam sambil terus menatapnya.

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa." Ravien berdiri dan berjalan lebih dulu, Sinka menyusul dan menyamai langkah mereka.

Berbeda dengan Ravien dan Sinka. Stephan dan Nadila sedari tadi terus berkeliling memasuki toko-toko yang mereka anggap menarik. Dan selama mereka berjalan, genggaman tangan itu tak pernah terlepas. Dan Stephan juga telah membeli satu baju untuk dirinya dan Nadila.

"Apa kau sekolah?"

"Iya, kamu?"

"Aku juga sekolah, tapi sebentar lagi aku akan pindah. Hmm.. Dimana sekolahmu? Siapa tau aku bisa masuk di sekolah yang sama denganmu." Ucap Stephan. Dalam hati, begitu ia tau dimana sekolah Nadila. Maka ia akan meminta pada Mama nya untuk sekolah di sana.

"Sekarang aku kelas 6 SD. Tapi, sebentar lagi bakal keluar hasil pengumuman lulus. Dan kalau buat lanjutin kemana, Mama ku yang akan memilihkan sekolah untukku."Stephan mengagguk paham.

Two Moon [END]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum