14

423 58 12
                                    

Sepanjang perjalanan pulang, senyum Ravien terus mengembang. Sinka sudah menjadi miliknya, dan tidak ada yang boleh merebut Sinka darinya.

"Apa Anda merasa senang saat ini Tuan muda?" Ravien mengangguk dengan semangat.

"Apa Paman pernah merasakannya?" tanya Ravien. Jika iya, mungkin Pamannya itu bisa mengajarinya untuk jadi pria yang baik untuk Sinka.

"Pernah, dulu. Tapi tidak lama." Ravien yang mendengar hal itu langsung berpindah ke depan duduk di samping Archy yang menatap lurus pada jalanan.

"Benarkah? Paman sedang tidak mengerjaiku bukan?" Tanya Ravien sekali lagi.
Pasalnya ia tidak pernah mendengar ataupun melihat Pamannya itu tertarik pada wanita. Dan sekarang ia mengatakan jika ia pernah merasakan hal itu.

"Saya bertemu dengannya saat Saya sedang berjalan-jalan di malam hari. Di saat itu, setelah sekian lama Saya hidup. Dia adalah gadis pertama yang dapat membuat hati Saya berdetak dengan cepat saat mata Saya tepat mengarah pada mata indahnya." Archy tersenyum saat wajah gadis yang di cintainya kembali muncul dalam ingatannya.

"Lalu? Kenapa Paman tidak pernah memperkenalkannya pada kami?"

"Saya juga ingin mengenalkan dia pada Anda dan semuanya. Tapi Saya tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal itu."

"Kenapa, Paman?" 

"Dipertemuan kedua kami, Saya baru  mengetahui ternyata dia sedang sakit parah. Saya menunggu kabarnya di depan ruang inapnya, berharap jika kami bisa mengobrol walau cuma sebentar. Tak lama Saya mendapatkan panggilan dari Ayah jika Saya harus segera pulang karena Anda dan Tuan muda Stephan sedang mengamuk tanpa sebab yang jelas. Saya diminta untuk membantu membuat pelindung, agar dampak dari amukan Anda tidak mencelakai penduduk desa." Jelas Archy.

"Maafkan aku, Paman."

"Tidak, Tuan muda. Itu bukan salah Anda, lagipula Anda juga pasti tidak menginginkan hal itu terjadi. Saya mengerti keadaan Anda."

"Lalu bagaimana keadaannya?"

"Dua hari setelahnya saya kembali. Tapi, saya sudah terlambat. Dia sudah meninggal. Bahkan jasadnya juga sudah dibawa oleh keluarganya." 

"Maaf Paman"

"Tidak, Tuan muda. Bagi Saya lebih baik dia meninggal daripada hidup ditemani oleh rasa sakit seperti itu."

Ravien tak ingin bertanya lagi, ia merasa tidak enak pada Paman nya itu. Kisah cinta yang menyedihkan menurut Ravien. Beruntung ia memiliki Sinka yang sehat-sehat saja. Mungkin jika ia berada di posisi Paman nya, ia tidak akan sanggup.

'Apa aku harus mengecek keadaan Sinka juga?' batin Ravien.

Ia tidak ingin bernasib sama seperti Paman nya.

~~~

Setelah makan malam, Ravien menuju ke tempat latihannya.
Ia mulai berlatih sendirian.
Ravien memang lebih suka berlatih sendiri, ia merasa lebih leluasa menggunakan ilmu sihirnya jika sedang sendiri.

Tapi jika saat bulan Purnama berada pada puncaknya, baik Ravien maupun Stephan harus di dampingi oleh Ayah, Papa, Delion dan juga Archy saat latihan.
Ia tidak mengerti kenapa. Tapi yang ia tau, setelah latihan itu. Stephan dan dirinya pasti akan merasakan tubuhnya terasa lemas saat bangun di pagi harinya.

"Kak.." Panggil 

"Ada apa?" Ravien menghentikan latihannya saat Stephan memanggilnya.

Ravien menghampiri Stephan dan duduk di sampingnya.

"Bagaimana dengan Kak Sinka?"

"Dia sudah menjadi milikku."

"APA?! Tega sekali. Astaga, seharusnya kita melakukannya bersama-sama." Stephan mengacak-acak rambutnya karena kesal. Padahal ia menemui Ravien untuk membicarakan tentang hal itu.

Two Moon [END]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن