17

426 60 19
                                    

Sinka dan Nadila menunggu di ruang tengah bersama Shani dan Gracia.

"Sumpah ya, aku tuh gak nyangka banget di dunia ini ada orang-orang kayak mereka. Aku pikir tuh ya, yang begitu itu tuh cuma ada di dongeng, di TV, di novel." Sejak tadi Nadila terus heboh bertanya tentang ini dan itu mengenai Stephan dan juga keluarganya.

"Cocok. Gre, nurun ke Stephan. Dan Stephan dapat pacar yang sama cerewetnya seperti Gre." batin Shani

Ia menggelengkan kepalanya mendengar ocehan Nadila dan Gracia yang tak ada hentinya.
Sinka hanya ikut berbicara sesekali.

"Mama" "Bunda" Shani, Sinka, Gracia dan Nadila menoleh ke sumber suara itu. Tampak Ravien dan Stephan yang sudah siap untuk pergi jalan-jalan.

Sinka dan Nadila mencium punggung tangan Shani dan Gracia, sebelum pergi bersama Ravien dan Stephan.

"Bunda tidak ikut?" tanya Ravien dengan polosnya.

"Gak, sayang. Bunda di rumah aja sama Mama. Masa mau kencan ngajak Bunda nya sih." Shani mencubit gemas pipi Anaknya.
Sedangkan Ravien, wajahnya memerah saat Bunda nya mengatakan ia dan Sinka akan pergi untuk kencan.

"Ini, belanja aja. Tau kan cara pakainya?" Ravien mengangguk dan menerima kartu dari Shani.

"Ini untuk kamu, kamu hebat tadi." Gracia pun menyerahkan kartunya pada Stephan.

"Iya dong, nanti pertarungan berikutnya aku akan membuat Papa gosong dengan sihir petir ku." ucap Stephan dengan penuh percaya diri.
Gracia menahan tawanya, Stephan belum menyadari kehadiran Papa dan Ayahnya.

"Emang kamu bisa ngalahin Papa kamu? Kan Papa kamu Panglima terkuat"

"Bisa. Tunggu saja. Aku akan belajar ilmu sihir yang lebih hebat dari milik Papa."

"Gimana kalau Papa gak mau ngajarin kamu sihir lagi?" Gracia terus memancing anaknya itu.

"Ya aku minta Ayah atau Kak Ravien untuk mengajariku."

Ravien menghela nafasnya. Ia mendekat ke arah Stephan dan memutar tubuh adiknya itu menghadap ke belakang, agar dia mengetahui. Jika orang yang sedang ia bicarakan saat ini sudah berdiri sejak tadi di belakangnya.

Melihat Papa nya berdiri dengan wajah datar dan kedua tangan terlipat di depan dada. Stephan langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya kemudian menggelengkan kepalanya. Tanda ia tak mengucapkan apapun sebelumnya.

"Jadi. Siapa yang akan kau buat gosong, anak kecil?" Okta menjewer telinga Stephan, membuatnya mengaduh kesakitan.

"Ampun, Papa. Ampun" Stephan meminta ampun pada Papa nya agar telinganya bisa segera terbebas dari hukuman.

"Menjadi yang terkuat itu bukan untuk mencelakai orang lain. Atau untuk di sombongkan pada orang lain." ucap Okta.

"Iya, Papa. Sudah, lepaskan. Papa bisa menjatuhkan harga diriku lagi di depannya." Okta pun melepaskan Stephan.

"Astaga, telingaku rasanya panas." keluh Stephan.

"Kalian mau di antar paman Archy atau mau jalan sendiri?"

"Kita jalan sendiri." Ravien dan Stephan langsung menjawab.

"Ya sudah, hati-hati." pesan Gracia.

"Hmm.. Bunda Shani, aku sama Ravien boleh ke halaman belakang aja gak?" Tanya Sinka.

"Kalian gak jadi jalan-jalan keluar?" Sinka menggeleng.

"Kau serius? Hanya ingin jalan-jalan di tempat latihanku?" tanya Ravien.

Two Moon [END]Where stories live. Discover now