"Depulso" Ravien menggunakan sihir lain untuk menyerang monster itu hingga terjatuh ke tanah.

Stephan bergerak dengan cepat memotong kuku dari monster itu dengan cakar tajamnya.

"Kita berhasil" Ucap Stephan dengan semangat.
Mereka tidak menyangka mereka bisa berhasil setelah menerima serangan yang seakan meremukkan tulang.

Monster itu meraung, sepertinya ia kesakitan. Stephan dan Ravien terus memperhatikan monster itu, hingga secara perlahan salju tebal yang sebelumnya memenuhi tempat itu pun menghilang. Monster itu berusaha bangkit, dan yang tak pernah mereka duga sebelumnya adalah...

Perubahan wujud monster itu, dari awalnya menyeramkan. Sekarang berubah menjadi seekor banteng kecil yang lucu.

Banteng kecil itu mendekati keduanya lalu tak lama terdengar suara, seperti seorang wanita.

"Apa yang akan kalian lakukan dengan mengambil buku itu?"

"Kak. Ini, yang ngomong dia?" Bisik Stephan.

"Sepertinya"

"Apakah, aku sedang berbicara dengan sang pelindung?" Banteng kecil itu menganggukkan kepalanya.

"Kenapa kalianbegitu ingin mendapatkan buku ku?"

"Kami ingin menolong orang-orang yang terkena sihir aneh,sihir jahat itu sudah memakan banyak korban. Ratu kami telah diserang dan keadaannya buruk, satu hal lagi. Aku ingin bisa mengobati mata gadisku" Jawab Ravien dengan jujur.

"Apakah kau tidak ingin menggunakannya untuk menguasai kedua kerajaan?" Ravien dan Stephan sama-sama mengeleng.

"Kami tidak memikirkan hal itu sekarang, dan kalaupun kami menginginkan posisi itu. Tentunya kami harus berusaha terlebih dulu. Bukan dengan cara yang seperti ini"

"Ikuti aku"

Ravien dan Stephan melangkah mengikuti banteng kecil itu hingga ke dinding goa. Banteng kecil itu menempelkan keningnya pada dinding goa. Tiba-tiba, batu besar yang menghalangi jalan masuk menuju goa itu bergeser dengan sendirinya.

"Bukunya ada didalam sana. Aku hanya mengantarkan kalian sampai disini saja." Ucap banteng kecil itu, lalu pergi entah kemana.

Ravien dan Stephan melanjutkan langkah mereka hingga diujung goa. Disana terdapat satu buku yang berada diatas tumpukan batu-batu yang berukuran sedang.

~~~

"K-kita tidak bisa mengatasi ini. Cepat panggil Panglima Vino." Ucap salah seorang prajurit yang telah berhasil menemukan Nadila.

Vino tiba ditempat dimana Nadila ditemukan, yaitu di lapangan tempat latihan para murid di sekolah sihir.

"Nadila?"

Nadila tidak menjawab, gadis kecil itu terus menunduk. Vino berniat untuk menyentuh pundak Nadila. Namun ia urungkan.

"Kalian semua, menjauh dari tempat ini." Perintah Vino.

Ia terlambat, Nadila telah membuka gulungan itu. Dan tidak ada acara lain selain mengeluarkan paksa sihir itu dari dalam tubuhnya.
Setelahnya, Vino tidak tau. Apakah Nadila akan bertahan atau tidak, selama ritual pelepasan sihir itu berlangsung.

"Nadila, ini mungkin akan sakit. Tapi, aku harap kau bisa bertahan." Nadila mendongak menatap Vino. Matanya berubah menjadi merah.

"Banyak hal yang bisa kau lakukan dengan kekuatanmu sendiri. Aku mengerti kau mungkin ingin balas dendam. Tapi, tidak dengan cara seperti ini" Vino berusaha menyentuh pundak Nadila. Namun ada sebuah sihir yang selalu berhasil menepis tangannya.

Mengingat alasan Nadila berbuat nekat seperti ini, membuat Vino ragu untuk melakukannya. Ia sedang memikirkan cara terbaik, tanpa harus melukai Nadila. Karena, Stephan pasti akan sedih melihatnya.

"Jangan terlalu lemah Panglima." Okta muncul dari arah belakang Vino.

Okta mengeluarkan busur dan anak panah berukuran sedang, yang terbuat dari kristal es. Busur itu bisa mengisi dan menembak sesuai keinginan Okta. Ia hanya perlu mengangkat kanannya dan mengarahkan ke musuhnya. Sekilas, senjata Okta ini terlihat seperti
Bow Gun. Hanya saja, senjata ini seperti menempel di punggung tangan Okta.

"Apa yang akan kau..." Vino tidak melanjutkan kata-katanya, ketika melihat Okta menembakkan anak panah nya ke atas.

Detik berikutnya, anak panah yang telah Okta lepaskan itu kembali dan menancap di tanah, mengelilingi tubuh Nadila.

"Dia sudah melakukan pelanggaran besar. Aku tidak bisa menjamin hidupnya. Yang jelas, apapun yang terjadi. Aku harus menghilangkan sihir itu" Ucap Okta.

Dari dalam tanah, muncul rantai yang memancarkan sinar putih. Rantai itu bagai ular yang melilit tubuh kecil Nadila agar tidak melakukan perlawanan selagi ia melakukan proses 'pembersihan' itu.

"Papa!!" Stephan yang baru saja tiba itu langsung berlari menghampiri Papa nya, namun ada sebuah pelindung yang menghentikan langkahnya. Dan itu adalah sihir milik Vino. Okta sudah berpesan agar tidak ada yang boleh mengganggunya.

"Ayah?! Nadila salah apa? Kenapa Ayah menahanku? Kenapa Nadila..." Stephan membulatkan matanya ketika melihat rantai yang melilit di tubuh Nadila itu semakin kuat mengikatnya.

Nadila berteriak dengan kencang karena rasa sakitnya.

Stephan tidak tahan melihat gadisnya disiksa seperti itu pun mulai menyerang dinding pelindung yang diciptakan oleh Vino.
Kedua tangan dan kakinya bergantian menyerang pelindung itu, namun tidak ada tanda-tanda jika pelindung itu akan rusak atau hilang.

Mata Stephan tidak lepas dari Nadila. Ia bisa melihat ekspresi kesakitan jelas tergambar di wajahnya.

"PAPA!!" Teriak Stephan ketika melihat Papa nya tak menghentikan kegiatannya itu.

Lutut Stephan terasa lemas ketika melihat Nadila yang memuntahkan darah. Setelah teriakan terakhirnya, tubuh Nadila pun langsung terjatuh ke tanah.

"Na-dila.."







😌 I'm Back 😎

Gimana?

Yahh.. Stephan datengnya lambat sih.. 😫😫
Bukan salah aku ya.. Salah Okta sama Vino tuh. Yang gak bolehin Nadila belajar sihir..

See Ya 🙋
Salam Team GreTa-VinShan-BebNju

Two Moon [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora