Jakunnya bergerak. Sepertinya dia menelan ludah. Wajahnya keras. Dia pasti marah besar.

"Gue ... gue nggak bisa bela diri. Gue nggak bisa bilang nggak sengaja. Gue nggak bisa bilang kecelakaan." Aku nggak sanggup lihat matanya. "Gue ... salah."

"Kamu menyukainya?"

"Dave?"

Dia diam saja.

Aku menggeleng. "Gue cuma suka sama lo." Kuremas bagian depan kemejanya yang lembab karena air mataku. "Gue cuma mau lo."

Dia diam lagi.

"Heath, lo marah?" Akhirnya aku mendongak, menatap mata birunya yang sekarang nampak gelap.

Dia memegang wajahku dengan dua tangan. Pegangannya keras. Dia menempelkan dahiku pada dahinya. Matanya terpejam seperti menahan rasa sakit yang mengerikan. Apa hatinya sakit banget?

"Aku marah, Bee. Aku sangat marah. Aku tidak pernah semarah ini sebelumnya. Bahkan saat hal terburuk dalam hidupku, aku tidak semarah ini. Tapi, aku punya hak apa untuk marah kepadamu, Bee?"

Kupegang wajahnya juga. "Gue milik lo, Heath. Lo berhak marah. Lo berhak ngamuk. Lo berhak ngumpat. Gue yang salah. Gue janji nggak akan ke kamar Dave atau cowok mana pun. Gue janji nggak akan ketemu Dave lagi."

"Bee ..."

Aku merasa hidungnya basah. Saat wajahnya menempel pada wajahku juga rasanya basah. Cengkramannya di kepalaku juga makin kuat. Dia pasti sakit banget.

Kami cuma begitu selama bermenit-menit, mungkin juga jam. Aku nggak tahu. Aku juga menangis terus. Aku juga menyesali kedunguanku. Aku juga sakit hati banget. Kalau boleh, aku pengin pukul diri sendiri keras-keras.

"Brush your teeth," desisnya pelan.

"Apa?" tanyaku bingung. Bukan aku nggak ngerti sama arti kalimatnya, tapi kenapa tiba-tiba dia minta aku gosok gigi? Mulutku bau?

"Bersihkan mulutmu, Bee." Dia menjauhkan wajahku dan menatap mataku. "Bisa?"

Aku mengangguk.

Setelah dia melepaskan, aku berjalan ke kamar mandi. Kulepas sweater yang lembab karena keringat. Setelah cuci muka, kugosok gigiku lama-lama. Aku sempat mau muntah waktu busa odolnya lupa kubuang. Kuulang lagi gosok giginya setelah berkumur, lalu aku kumur dua kali dengan mouth wash.

Gigiku terasa bersih sekali sekarang. Tapi, jelas bukan ini yang diinginkan Heath. Dia ingin aku membuang sisa ciuman Dave dari mulutku. Dia ingin aku berhenti memikirkan Dave.

Tapi, saat aku mengingat lagi ciuman tadi, aku jadi merinding. Lututku tiba-tiba lemas. Aku sampai berpegang pada pinggiran wastafel biar nggak jatuh.

Sabar, Glace. Itu ciuman pertama. Memang begitu rasanya. Lo aja yang goblok ngasih ciuman pertama ke Dave yang bukan apa-apa lo. Harusnya itu punya Heath.

Duh!

Waktu aku keluar dari kamar mandi dengan memakai mantel kamar, Heath nggak kelihatan. Sampai di depan lemari juga dia masih nggak kelihatan. Setelah ganti baju, aku memberanikan diri buka ruang kerjanya.

Dia duduk di sofa. Dia menunduk memandangi lutut yang dipegang dengan dua tangan. Dia membenturkan kepala pada lutut beberapa kali, lalu berhenti sebelum mengulanginya lagi.

Biasanya dia selalu waspada. Biasanya dia selalu tahu kalau aku menyelinap masuk. Tapi, kali ini dia terlihat sibuk sekali sama lututnya. Dia lebih kelihatan sedih daripada marah. Dia nggak gebrak meja atau ninju sesuatu kaya kalau dia marah sama Drey.

Nasty Glacie (Terbit - Rainbow Books)Where stories live. Discover now