Chapter 36

349K 14.5K 153
                                    

Tangan Kido merambat menuju sendok sambal. Saat Yura asyik berbincang-bincang dengan Hilda, Kido mencoba menuangkan sesendok sambal pada baksonya. Namun aksinya itu tak berhasil. Yura memergokinya dan langsung menepuk tangan Kido yang belum sempat memasukkan sesendok sambal tersebut ke dalam mangkok bakso.

"Kido, gue kan udah bilang kalau elo nggak boleh makan pedas," tegur Yura marah.

"Iya deh iya. Maaf kalau begitu," ucap Kido mengerucutkan bibirnya.

"Gue perhatikan, kalian itu semakin lama semakin akrab tau nggak?" mata Hilda memicing curiga. Ia melihat Yura dan Kido bergantian.

"Gue sama Kido kan keluarga. Apalagi sekarang kita tinggal satu rumah. Gue rasa wajar kalau sekarang kita akrab. Iya kan Kido?" Yura menyenggol sikut Kido sambil tersenyum kaku.

"Iya. Yura benar. Lagian kalau kita berdua akrab, toh kita juga nggak merugikan orang lain." Kido membenarkan.

Di sudut kantin, Alea berdiri kesal. Sejak liburan di Villa, Kido sudah tidak mau berkomunikasi lagi dengannya. Bahkan, ia tak tahu identitas pelakor yang merebut Kido darinya.

"Kenapa berdiri aja?" Raffi tiba-tiba datang dan memegang pundak Alea.

"Gue males duduk." Alea menimpali dengan nada judes.

"Boleh kita ngomong bentar? Tapi nggak di sini."

"Ngomong apa?"

"Ayo!" Raffi menarik tangan Alea dan membawanya ke tempat yang lebih sepi.

"Ada apa sih?"

Raffi mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Dia membuka sebuah foto mesra antara Yura dan Kido. Mata Alea terbelalak melihat foto tersebut. Di mana ia melihat Kido tengah mencium pipi Yura di depan teras rumah.

"Kenapa Kido nyium Yura? Meskipun mereka keluarga, gue rasa ini aneh banget." Alea bertanya-tanya.

"Al, sebenarnya Kido mempunyai banyak rahasia. Tapi gue masih belum bisa mengungkap rahasia itu karena gue masih belum mempunyai banyak bukti," jelas Raffi.

"Rahasia apa?"

"Rahasia yang bahkan elo nggak pernah membayangkannya."

"Tapi kenapa elo bisa dapat foto ini?" Alea mencermati kembali foto Kido dan Yura yang terpampang jelas di ponsel Raffi.

"Awalnya gue cuma iseng main ke rumah tante gue. Ternyata gue lihat mereka gandengan tangan saat ke mini market. Akhirnya gue ikuti mereka sampai ke sebuah rumah."

"Di mana rumah itu?"

"Gue akan kasih tahu elo di mana alamat rumah itu asalkan elo bisa memenuhi satu syarat dari gue."

"Apa?"

"Elo harus jadi pacar gue."

"What?" Alea terlonjak kaget. "Lo gila? Atau sinting? Lo itu pacarnya Hilda, sepupu gue."

"Tapi lo mau balas dendam ke Kido dan cewek jalang yang merebut Kido dari elo kan?"

"Iya sih."

"Ya udah kalau begitu ayo kita pacaran. Gue bakal tinggalin Hilda. Selama ini, gue pacaran sama Hilda hanya untuk bisa dekat sama elo. Awalnya gue kira Hilda itu cuma tetangga lo. Gue nggak tau kalau Hilda itu sepupu lo. Makanya gue pacarin dia."

"Hilda itu bukan cuma sepupu dan tetangga gue, Fi. Dia juga sahabat gue. Mana mungkin kalau gue hianati dia. Lagian, gue nggak ada feel sama lo."

"Oke kalau lo nggak mau pacaran sama gue. Lagian, gue juga tetap mau putusin Hilda. Dan gue nggak mau bantu lo untuk mengungkap rahasia Kido."

Alea tampak menimbang-nimbang tawaran yang diajukan Raffi. Ia tahu betul bahwa Hilda sangat menyukai Raffi. Namun tidak dapat ia pungkiri bahwa ia ingin mengetahui rahasia Kido sehingga Kido dengan tega meninggalkannya dan lebih memilih gadis lain. Alea ingin membalas sakit hati yang dirasakannya karena telah dicampakkan. 

"Al, kalau lo nggak nerima cinta gue, tetap saja gue putusin Hilda. Karena memang pada dasarnya, gue nggak suka sama dia. Di sini lo sendiri yang rugi. Lo nggak bakal mendapat informasi apa pun dan Hilda tetap bakal terluka," ujar Raffi mencoba meyakinkan Alea.

"Tapi-"

"Sekarang gue tanya sama lo. Apa Hilda lebih penting daripada sakit hati yang lo rasain? Gue tau kalau lo nggak masuk beberapa hari cuma untuk menangisi Kido."

Alea lagi-lagi berpikir. Ia kembali menimbang yang semua perkataan Raffi. Dalam lubuk hatinya, ia tak ingin membiarkan Hilda terluka. Namun keegoisannya berkata lain. Hati nuraninya telah mati setelah Kido memutuskan hubungan dengannya.

"Lo benar, Fi. Gue emang sakit hati banget sama Kido. Bagaimana pun caranya, gue harus balas dendam ke dia. Baiklah kalau begitu. Gue mau jadi pacar lo," kata Alea.

***

Hilda menangis sesenggukan sambil video call-an dengan Yura. Dia benar-benar terpuruk setelah Raffi mencampakkannya dan berpacaran dengan Alea. Ia sungguh tak menyangka kalau Alea akan menghianati kepercayaannya selama ini. Padahal, ia sudah menganggap Alea seperti saudara kandungnya sendiri.

"Gue nggak nyangka kalau Alea bakal ngerebut Raffi dari gue, Ra." Hilda kembali mengusap air matanya dengan tisu.

"Udah. Jangan nangis dong, Hil! Cowok kayak Raffi itu buang aja ke tong sampah. Cari aja cowok lain, misalnya Bowo kek, Iqbal kek, atau siapaaaa gitu," kata Yura mencoba menenangkan.

"Ra, apa malam ini gue boleh nginep di rumah lo?" tanya Hilda.

Yura melirik ke samping, melihat Kido yang memberikan kode padanya agar tidak membiarkan Hilda menginap di rumah mereka. Karena rumah mereka memang didesain hanya memiliki satu kamar tidur.

"Boleh ya, Ra?" pinta Hilda mengiba.

"Iya boleh." Yura akhirnya mengangguk setelah berpikir beberapa saat.

Setelah Yura mengakhiri panggilan video call-nya, dia mengirim alamat rumahnya pada Hilda. Kido mengacak rambut sembari mondar-mandir kesal dengan keputusan Yura yang membiarkan Hilda menginap di rumah mereka.

"Ra, kamu gila? Kalau Hilda menginap di rumah ini, kita bakal nggak bisa bobok bareng kayak biasanya," omel Kido frustrasi.

"Nggak bisa tidur bareng nggak masalah," sahut Yura santai.

"Nggak bisa gitu dong, Ra. Kamu tau kan, kalau aku selalu pengen dekat sama kamu. Kalau ada Hilda, aku nggak bakal bisa bermanja-manja sama kamu," rengek Kido.

Pipi Yura berkedut jijik. Ia tak menimpali ucapan Kido dan menarik kasur cadangan yang ia simpan si kolong ranjang. Kemudian ia membersihkan kasur tersebut dari debu lalu memasang sprei.

"Jangan bilang kalau kita bakal tidur bertiga!" tebak Kido.

"Siapa bilang kalau kita bakal tidur bertiga? Kamu bakal aku suruh pulang ke rumah orangtuamu," elak Yura.

"Kok gitu? Pokoknya aku nggak mau pulang. Aku mau bobok sama kamu."

Ting tung ting tung

Terdengar suara bel dari arah pintu. Yura bergegas keluar kamar dan membukakan pintu. Dengan mata yang masih sembab, Hilda memeluk Yura dengan begitu erat. Air matanya kembali tumpah. Yura menepuk-nepuk punggung Hilda beberapa kali dan mengarahkannya untuk duduk di sofa ruang tamu. Ia dengan sabar mendengarkan isi hati Hilda untuk kesekian kalinya. Mata Kido berputar malas mendengar curhatan Hilda. Rasanya ia sudah bosan dengan cerita Hilda yang terus diulang-ulang. Ia berjalan menuju dapur, mengambil 3 gelas air minum, lalu menyuguhkannya pada Hilda dan Yura. Satu gelas yang lain untuk ia minum sendiri.

"Makasih ya, Do." Hilda meneguk habis satu gelas air putih yang Kido suguhkan. Lalu ia mengelap sisa air putih yang masih menempel di sekitar bibirnya.

"Sudah lebih baik?" tanya Yura yang masih setia mengelus-elus punggung Hilda.

"Iya. Gue udah mendingan kok." Hilda mengangguk

KIDO VS YURA [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang