Chapter 16

367K 16.8K 294
                                    

Kido mengetuk pintu kamar Yura. Ia tak menyangka bahwa Yura akan menangis setelah ia cium. Entah mengapa, Kido jadi merasa bersalah.

"Ra, buka pintunya, Ra! Gue minta maaf. Gue janji nggak akan mengulanginya lagi tanpa seizin elo," kata Kido yang terus mengetuk pintu kamar Yura.

"Kido, pergi lo! Gue nggak mau denger suara lo." Terdengar suara Yura yang diselingi isak tangis.

"Oke oke. Gue akan pergi. Gue akan kasih waktu buat lo menenangkan diri. Setelah lo tenang, kita bisa bicara baik-baik kan?"

"Pergi!" teriak Yura.

Kido menghela napas kecewa. Ia pergi memasuki kamarnya dan merebahkan diri di atas kasur. Bibir Yura yang barusan ia cium masih terasa lembut di bibirnya. Selama ini, Kido sudah pernah 14 kali berciuman, terhitung sejak mantan pertamanya saat SMP. Dan ciuman ke-14 ia lakukan dengan Yura. Rasanya begitu berbeda.

"Kenapa bibir Yura rasanya beda ya?" Kido memegang sendiri bibirnya.

Kido tak tahu mengapa bibir Yura terasa berbeda. Bibir Yura terasa lembut dan begitu memabukkan. Rasanya Kido ingin mencium bibir itu lagi dan lagi lalu melumatnya dengan rakus.

"Kenapa gue kepikiran bibir Yura terus sih? Apa karena gue udah jatuh cinta sama si Yura?" Kido mengacak kesal rambut ikalnya.

Kido terbangun lalu berjalan mondar-mandir ke sana- ke mari, mencoba menghilangkan bibir Yura yang sedari tadi terus ia pikirkan. Kido tidak boleh jatuh cinta dengan Yura. Begitu pula sebaliknya. Yura tidak boleh jatuh cinta dengan Kido.

"Selama ini, gue udah 4 kali pacaran dan 13 kali ciuman sama mantan-mantan gue. Kenapa ciuman ke-14 begitu berbeda? Kenapa gue kayak ketagihan ciuman sama Yura?" Kido berbicara sendiri.

Kido mengacak rambutnya lagi. Ia menggeleng kuat untuk menampik pikiran bodohnya itu. Ia bergegas memasuki kamar mandi dan memutuskan untuk mencuci mukanya agar akal sehatnya kembali berfungsi.

"Tenang Kido, tenang. Sekarang lo udah tau kalau lo itu mulai jatuh cinta sama Yura." Kido berbicara sendiri setelah membasuh mukanya.

"Kido, waktunya makan malam!" terdengar suara Bu Lisa dari lantai bawah.

"Iya, Ma. Bentar," sahut Kido.

Kido menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya. Lalu menariknya kembali dan mengembuskannya lagi.

"Oke. Sebelum cinta itu tumbuh semakin besar, sebaiknya gue jaga jarak sama si Yura. Iya iya. Gue harus jaga jarak." Kido keluar dari kamarnya dan menuju ruang makan.

Yura sudah duduk di ruang makan bersama Pak Jodi dan Bu Lisa. Kido berdehem salah tingkah dan mengambil tempat duduk. Kido merasa bersalah melihat mata Yura yang tampak sedikit bengkak karena terlalu banyak menangis.

"Kido, kamu dapat hadiah ulang tahun apa dari Yura?" tanya Bu Lisa.

"Yura kasih aku ipad, Ma," jawab Kido.

"Waaah beruntung banget kamu punya istri seperti Yura."

"Iya, Ma."

Yura hanya terdiam sambil menikmati makanannya. Ia masih begitu marah dengan Kido. Tapi ia berusaha menyembunyikan kemarahannya dengan tetap berdiam diri.

***

Hilda tersentak kaget setelah mendengar semua cerita Alea. Hilda dan Alea adalah saudara sepupu. Selain itu, mereka juga bertetangga. Meskipun mereka tidak satu kelas, tapi hubungan mereka sangat akrab. Alea sering sekali menceritakan masalah pribadinya pada Hilda karena selama ini Hilda bisa menyimpan rahasianya rapat-rapat.

"What? Elo kasih Kido kado keperawanan?" tanya Hilda memastikan.

Alea mengangguk. "Iya. Dan lebih parahnya, dia nggak mau ambil keperawanan gue."

"Dia nggak mau?"

"Iya. Dia nggak mau. Nyebelin kan? Dia bilang, dia nggak mau ngerusak gue. Dia hanya mau melakukan hal itu setelah menikah saja. Padahal waktu itu, gue udah buka setengah kancing seragam gue. Tapi dia malah nutupin badan gue pakek selimut."

"Bushet!" Hilda bertepuk tangan sambil menggelengkan kepala tak percaya.

"Kenapa?"

"Gue nggak nyangka kalau Kido itu cowok yang baik."

"Cowok baik? Kenapa lo bilang kayak gitu?"

"Kalau Kido itu cowok bejat, udah pasti dia mau ngambil keperawanan elo. Apalagi elo sendiri yang nawarin."

"Jadi menurut elo, Kido itu cowok yang baik?"

"Ya iyalah! Jaman sekarang, cowok kayak gitu mah spesies langka dan terancam punah."

"Aduh gimana ini, Hilda?" Alea mendadak panik setelah ia mengingat kembali apa yang ia ucapkan pada Kido.

"Gimana apanya?"

"Gue udah putusin Kido."

"Kenapa elo putusin dia?" geram Hilda.

"Habisnya, dia nolak mengambil keperawanan gue. Jadi gue marah dan putusin dia."

"Lo gila?" mata Hilda melebar sempurna.

"Sekarang, lo telpon Kido dan minta maaf ke dia. Lo juga harus minta balikan sebelum Kido di ambil orang. Lo pasti nyesel kalau lepasin cowok baik kayak Kido."

Alea menurut dan segera menghubungi Kido. Ia berharap Kido mau memaafkannya dan mau kembali padanya.

"Halo?" sapa Alea malu-malu.

"Halo." Terdengar suara Kido dari seberang sana.

"Sayang, aku minta maaf atas kejadian sore tadi ya. Aku bodoh banget. Aku ... aku nggak mau putus sama kamu. Tadi itu aku cuma marah. Kamu mau maafin aku ya?"

Kido terdiam sejenak. Ia memikirkan perasaannya pada Yura yang semakin hari semakin tumbuh. Tapi jika perasaannya itu membuat Yura menangis, maka ia berniat memendamnya dalam-dalam.

"Iya. Aku maafin kamu kok, Sayang," jawab Kido enggan.

"Makasih ya, Sayang. I love you."

"I love you too."

Setelah menutup telepon, Alea berjingkrak senang. Hilda turut bersyukur bahwa Kido mau memaafkan Alea. Ia ingin sepupunya itu mendapatkan cowok baik-baik, cowok yang tidak merusak apa yang seharusnya dijaga.

KIDO VS YURA [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Where stories live. Discover now