Chapter 17

366K 17.7K 136
                                    

Pak Gunawan keluar rumah dengan berkacak pinggang. Ia menggelengkan kepalanya saat mendapati bahwa Kido dan Yura tidak pulang bersama. Kido pulang dengan motornya. Sedangkan Yura pulang diantar tukang ojek online.

"Kenapa kalian pulang sendiri-sendiri?" Pak Gunawan mulai mengintrogasi.

Kido melepaskan helmnya dan turun dari motornya. Sementara Yura meneguk ludah setelah membayar tukang ojek online.

"Kenapa kalian pulang sendiri-sendiri?" ulang Pak Gunawan yang menaikkan oktaf suaranya.

Kido dan Yura terpental kaget.

"Kalian adalah suami istri. Dua minggu lagi, usia Yura tepat 17 tahun. Saat itu tiba, kamu dan Yura akan resmi menjadi suami istri secara agama dan hukum." Pak Gunawan menunjuk-nunjuk kedua cucunya itu.

"Maaf, Kek," sahut Kido.

"Pokoknya pulang pergi ke sekolah, kalian harus bareng. Ngerti?" perintah Pak Gunawan.

"Iya, Kek." Kido dan Yura menyahut bebarengan.

"Sudah sudah. Kalian sebaiknya masuk ke dalam. Kakek mau meeting dulu." Pak Gunawan kemudian pergi dengan sopirnya.

Yura menghela napas dan memasuki rumah. Langkah kakinya terhenti ketika Kido memegang tangannya. Ia menoleh dengan dahi mengernyit. Kido cepat-cepat melepaskan pegangan tangannya sebelum Yura marah.

"Elo mau kado apa?" tanya Kido setelah berdehem kikuk.

"Terserah," jawab Yura singkat.

Sejak Kido menciumnya tiba-tiba, dia semakin illfeel pada Kido. Yura mempercepat langkahnya untuk menghindari berinteraksi dengan sosok yang begitu menjengkelkan baginya. Kido juga mempercepat langkah kakinya untuk bisa berjalan beriringan dengan Yura. Meskipun ia merasa bersalah, tapi ia tak menyesal karena telah mengambil ciuman pertama Yura.

"Lo masih marah ya?" Kido menghadang Yura.

"Iya. Gue marah," kata Yura ketus.

"Gue minta maaf, Yura. Jangan marah lagi ke gue. Kan gue udah janji ke elo kalau gue nggak bakal cium elo tanpa seizin elo."

Yura memanglingkan mukanya sembari melipat tangan. "Kido, nggak semua masalah bisa diselesaikan dengan kata maaf. Elo sudah rebut ciuman pertama gue yang selama 16 tahun lebih 11 bulan telah gue jaga baik-baik buat Reon."

"Lo cinta banget ke Reon?"

"Ya iyalah!"

"Gue harus ngelakuin apa agar elo mau maafin gue?"

"Jauhi gue sekarang!" bentak Yura dan berlalu pergi menaiki tangga menuju kamarnya.

Tiba-tiba perut Kido terasa sakit. Ia memegangi perutnya lalu terjerembab ke atas lantai. Ia mengerang kesakitan. Dan keringat dingin mulai bercucuran dari dahinya.

"Kido?" mata Yura melebar kaget saat mendapati Kido yang terkapar di lantai. Dia langsung menuruni tangga dan menepuk-nepuk pipi Kido. "Kido? Kido?"

Yura langsung menyuruh Bik Ija mengambil ponselnya. Dia bergegas menghubungi ambulan karena Kido sudah tak sadarkan diri. Tak lama setelah itu, ambulan datang dan membawa Kido yang ditemani Yura ke rumah sakit terdekat.

"Ra, elo maafin gue kan?" tangan Kido meraih tangan Yura setelah ia sadarkan diri di dalam perjalanan menuju rumah sakit.

"Saat elo sakit kayak gini, elo masih mikirin permintaan maaf?" omel Yura.

"Elo maafin gue kan, Ra?" suara Kido terdengar semakin lemah.

"Iya iya. Gue maafin elo. Sekarang elo diem aja karena kita akan ke rumah sakit."

Yura mondar-mandir di depan salah satu bilik IGD. Melihat keringat dingin yang bercucuran dan wajah pucat Kido, Yura sudah tahu bahwa Kido tidak sedang bercanda. Kido benar-benar sakit.

"Dok, bagaimana keadaan ... em ... teman saya?" tanya Yura yang hampir saja menyebutkan bahwa Kido adalah suaminya.

"Saya masih belum bisa memastikan apa penyakit yang diderita pasien. Saya masih menduga dia terkena usus buntu. Tapi saya perlu beberapa pemeriksaan untuk memastikan," jelas Dr.Henry.

"Makasih, Dok."

Yura membuka bilik kamar Kido. Wajah Yura berubah murung saat melihat Kido yang terkapar lemah di atas ranjang rumah sakit. Yura mengambil sapu tangan dari sakunya lalu mengelap keringat Kido dengan lembut, takut membangunkan Kido yang tertidur.

Tangan Yura tercekat. Ia mengamati lekat-lekat wajah Kido yang begitu mempesona. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, bulu matanya lentik, dan bibirnya merah muda. Kido seperti patung Yunani.

"Ganteng tapi kok bikin illfeel ya?" Yura bertanya-tanya.

"Jangan lihat muka gue lebih dari 5 detik! Entar jatuh cinta lho." Kido tiba-tiba membuka matanya. Rupanya ia berhasil memergoki Yura yang sedari tadi mengamati wajah tampannya.

"Idiiiiih pede banget lo! Gue udah hampir 5 bulan tinggal bareng sama elo. Dan gue nggak jatuh cinta sama elo. Itu berarti gue masih punya logika."

"Tapi cinta kadang-kadang nggak punya logika lho. Kayak lagunya artis siapaaaa gitu."

"Sekarang elo tidur aja. Gue nggak mau debat sama orang yang entah besok masih hidup atau enggak."

"Eh eh amit-amit jabang bayi!" Kido mengetok kepalanya sendiri. "Gue nggak mau mati muda. Gue maunya mama muda aja."

"Kenapa elo nggak mau mati? Daripada elo hidup unfaedah, mendingan elo mati aja. Biar gue bisa nikah sama Reon."

"Gue nggak mau mati sekarang. Gue nggak akan biarin elo nikah sama Reon."

"Emangnya kenapa kalau gue pengen nikah sama Reon? Toh, kalau lo mati, gue jadi janda dan bisa menikah dengan siapa pun yang gue mau."

"Pokoknya gue nggak mau mati, nggak mau cerai, dan nggak bakal biarin elo nikah sama orang lain."

"Kenapa gitu? Elo cinta sama gue?"

"Gue bilang kayak gitu biar elo nggak bisa bahagia sama orang lain. Weeeek." Kido menjulurkan lidahnya.

"Ih nih pasien nyebelin amat." Yura mencubit kesal lengan Kido, membuat Kido mengerang kesakitan.

Kido sudah sebisa mungkin menekan perasaannya pada Yura. Ia bahkan menerima Alea lagi sebagai pacarnya untuk menampik perasaan cinta yang terus tumbuh pada Yura. Selain itu, dia sudah berusaha menjauh dan meminimalisir berinteraksi dengan Yura. Tapi tidak bisa. Ia selalu ingin dekat dengan Yura.

KIDO VS YURA [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Where stories live. Discover now