Bab 24 - Jantung

47.5K 3.9K 93
                                    

Gadis cantik yang selalu memakai masker beruang itu menatap iri ke arah lapangan komplek dari balik pohon, pemandangan teman sebayanya yang bermain riang tanpa beban itu, ia juga ingin merasakannya.

Akan tetapi, ia takut. Takut mereka tak menyukainya, lalu berbuat jahat padanya seperti yang selalu dikatakan Ayahnya. Bahwa banyak orang jahat diluar sana, dan sekumpulan anak yang sedang bermain lempar bola itu bisa saja berbuat jahat pada dirinya.

Tubuh gadis itu seketika membeku saat matanya bertemu dengan bocah laki-laki tampan, dirinya berniat berlari pergi, namun tatapan sendu juga senyum manis bocah itu seakan membuat kakinya terpaku di tanah. Hingga bocah laki-laki itu berada dihadapannya dan senyumnya juga makin melebar, gadis yang awalnya terpana berubah menjadi ketakutan.

"Hai cantik, nama kamu siapa?" gadis itu diam, bingung ingin menjawab apa tidak. Merasa aneh karena sang gadis tak menjawab, laki-laki itu mendekat dan mengulurkan tangannya,

"Nama aku Geral, aku ga gigit kok. Cuman pengen kenalan, hehe" dengan ragu, gadis itu menatap uluran tangan laki-laki yang masih tersenyum lebar dihadapannya itu, dan akhirnya menyambutnya kaku.

"Aku Anjani"

"Salam kenal Anjani, mau gabung main sama kita?" Laki-laki bernama Geral itu melepas tautan tangannya dan entah kenapa membuat sang gadis merasa hilang. Geral memberi kode untuk mengikutinya, tapi Anjani diam dan menggeleng pelan.

"Kata ayah gaboleh main sama orang sembarangan" menanggapi ucapan itu, Geral tersenyum lagi.

"Aku bukan orang sembarangan, tapi kalo mereka gatau deh. Hahaha" Geral tertawa garing lalu menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, " kapan-kapan main bareng ya Anjani, aku kesana dulu. Dadah" Geral melambai sambil berlalu menghampiri teman-temannya yang bersungut kesal karena dirinya meninggalkan permainan begitu saja,

Sedangkan Anjani masih diam, hatinya menghangat. Tak pernah ada yang mau mengajaknya bicara selama ini karena masker beruang aneh yang selalu melekat diwajahnya, semua anak menganggapnya aneh tapi laki-laki itu menghampirinya dengan senyum manis. Geral, laki-laki itu membuat Anjani percaya bahwa tak semua orang jahat seperti apa yang dikatakan Ayahnya selama ini.

Beca membuka mata cepat dengan wajah pucat juga nafas terengah-engah, tubuhnya basah karena keringat. Satria yang melihat Beca sudah terbangun, dengan cepat mengambil segelas air.

Beca menenggak cepat, dan mengusap keningnya yang berkeringat dengan kasar. Mimpi itu tadi, seperti kenyataan. Tapi kenapa Beca tak mengingat kapan itu terjadi selama ini? Geral? Siapa laki-laki itu? Wajahnya tak terlalu jelas, tapi senyum itu. Sungguh, Beca seperti mengenalinya.

"Kamu kenapa?" Satria berucap lembut dan menggenggam tangan Beca erat, ia benar-benar khawatir saat melihat Beca pingsan tadi. Beca menggeleng pelan, "gapapa" ia ragu ingin bercerita apa tidak, karena yang ia bayangkan tadi belum tentu nyata. Bisa saja hanya mimpi bukan?

"Kamu pucet banget" Beca yang awalnya terlalu fokus dengan mimpinya tadi mulai menyadari ada keanehan, sorot mata ketakutan berganti begitu cepat dengan seringai, Satria menangkap itu lalu mendecak kesal, disaat genting seperti ini masih saja suka menggoda,

"Kamu? Apa tadi? K-A-M-U?" Beca cekikikan sendiri melihat gestur salah tingkah Satria yang menggemaskan, "apa sih! Udah lo tidur aja lagi sana"

Satria yang hendak berbalik  dengan cepat dicekal oleh Beca, "jangan.. Temenin" ingin sekali Satria mengguyur tubuhnya dengan es, kenapa terasa panas sekali. Terlebih pipinya, sial.

"Tasya kemana?" Satria sudah kembali duduk di sisi ranjang Beca dengan mengupas Jeruk yang ia ambil dari meja dokter tadi, kebetulan Satria dengan dokter Afandi lumayan akrab karena Afandi adalah salah satu dokter kepercayaan keluarganya, bisa dibilang satu-satunya yang tau tentang identitasnya di sekolah ini hanya Afandi, dan kini ditambah gadisnya, Beca.

"Cabut. Dijemput orang tuanya tadi" Beca mengangguk paham lalu membuka mulutnya menerima suapan jeruk dari Satria yang sudah dikupas, " masih pusing?" Beca menggeleng pelan, keraguan ingin bicara tentang keanehannya tadi semakin menjadi. Haruskah ia bercerita pada Satria? Ah sudah pasti Satria akan menganggap dirinya hanya bermimpi.

"Lo kenapa sih? Tiba-tiba pingsan gitu? " Satria meletakkan jeruknya dalam piring kecil di meja nakas, dan tatapan intensnya kini beralih pada Beca, "kok jadi lo gue lagi? Pakek aku kamu dong biar gemess" Beca berusaha sekuat tenaga tersenyum centil walau sejak tadi hatinya tak tenang,

"Bee.."

"Iya satrinah sayang?" nampak Satria menghela nafas lemah, lalu bersandar di kursi dengan melipat tangan di dada. Tatapan tajamnya tak lepas dari Beca, dan Beca tak menyukai itu. Tatapan intimidasi itu membuat tubuhnya terpaku, bisakah Satria mengurangi kadar pesonanya sedikit saja demi kesehatan jantung nya ini?

Kasian jantung gue, capek pasti deg-deg'an kenceng mulu.

"Please" posisi Satria berubah tegak dan mendekat ke arah Beca, tangannya kembali menggenggam tangan Beca erat, tanpa sadar air mata Beca luruh begitu saja. Beca tak mengerti kenapa dia jadi seperti ini, emosinya mudah sekali naik turun, bayangan itu, semuanya membuatnya bingung, dan ditambah kini ia menangis tanpa tau apa penyebabnya.

"Aku gatau sat.." Satria bangkit dan merengkuh tubuh mungil Beca dalam dadanya, membiarkan Beca terisak. Tangannya mengusap lembut puncak kepala Beca, Satria tak pernah berurusan dengan gadis, dan ini pertama kalinya ia menenangkan gadis yang sedang menangis. Tapi kenapa rasanya tak asing?

Beca mempererat pelukannya, kenyamanan ini.. Yang ia rasakan sejak pertama kali bertemu. Parfum ini, yang selalu berhasil meredam entah emosi atau kesedihannya, Satria seakan kesatria yang datang membawa segala kenyamanan yang ia impikan selama ini. Membawa seluruh rasa yang membuatnya membuncah bahagia,

"Aku ga akan maksa kamu cerita. Tapi.." Satria melepas rengkuhannya, dan kini tangannya beralih membingkai wajah Beca yang terasa pas ditangannya, " kamu tau dan akan selalu tau, kalau kesatria pasti selalu melindungi sang putri sampai kapanpun. Bukan hanya raga, juga jiwa. Aku ga bakal ingkar janji sama calon mertua sendiri" senyum tengil Satria terbit, dan bukannya mereda justru isakan Beca semakin menjadi. Dan setelahnya Beca menenggelamkan diri dalam pelukan Satria, meredakan tangisnya juga rasa panas yang menjalar dipipinya.

Satria terkekeh namun tak urung membalas pelukan Beca tak kalah erat, hingga dokter Afandi menegur dengan dehaman. Beca melepas pelukannya cepat lalu menghapus air matanya dan menunduk malu,

"Ck. Bapak ganggu aja" Afandi tertawa lalu menepuk pelan bahu Satria, "jangan jadikan UKS tempat pacaran, nanti saya yang dipecat. Udah sana, Rebeca udah baikan kan? Mending balik ke kelas"

Satria membantu Beca turun dari ranjang UKS dengan hati-hati, sebelum pamit pada Afandi untuk kembali ke kelas.

"Sat.." Beca berlalu lebih dulu, membuat Satria mengernyit bingung dan akhirnya setengah berlari mensejajari langkah Beca yang berjalan cepat, "Kenapa?" dan langkah Beca terhenti, Satria makin bingung, napa lagi ni anak?

"Jangan gitu terus" Beca memalingkan wajahnya, tak mau menatap mata Satria yang membiusnya itu, " bahaya"

"Apanya sih?"

"Aku deg-deg'an kenceng terus tiap kamu kayak tadi, kan jadi malu" Satria mengerjap sebentar, lalu tersenyum menahan tawa. " gausah ketawa!!" dan tawa Satria meledak, lalu merangkul bahu Beca santai.

"Lebih kasian jantung aku dong" Satria meredakan tawanya lalu tersenyum simpul, " kamu ga ngelakuin apa-apa aja aku deg-deg'an kenceng, apalagi ngerayu" Beca menutup wajahnya cepat lalu berteriak samar,

"Satrinahhh..."

🍁🍁🍁


Jangan lupa tinggalkan jejak..

Kritik saran sudah pasti akan diterima dengan senang hatii ❤❤

MIRACLE [Completed]Where stories live. Discover now